Cari Blog Ini

Bidvertiser

Rabu, 29 Mei 2013

Rupiah (A Tony Prasetiantono)

A Tony Prasetiantono

Rupiah beberapa hari ini dalam posisi tertekan hingga menembus kurs tengah Rp 9.800-an per dollar Amerika Serikat. Timbul kekhawatiran, jika tidak dikelola dengan baik, rupiah akan terus terkulai menembus batas psikologis Rp 10.000 per dollar AS.

Bila batas tersebut terlampaui, bisa timbul situasi tidak terkontrol: rupiah melemah semakin dalam. Faktor apa saja yang menyebabkan rupiah melemah?

Faktor eksternal

Pertama, dari faktor eksternal, pelemahan rupiah, atau dari sisi lain penguatan dollar AS, antara lain dipicu kebijakan Bank Sentral Eropa (European Central Bank/ECB) yang memangkas suku bunga acuannya ke level terendah 0,5 persen yang mulai efektif sejak 8 Mei 2013. Keberanian Presiden ECB Mario Draghi untuk menurunkan suku bunga nyaris nol persen tersebut terutama disebabkan inflasi zona euro yang turun hingga 1,2 persen (The New York Times, 2/5).

Rendahnya inflasi dijadikan momentum untuk menurunkan suku bunga agar bisa mendorong perekonomian. Saat ini, zona euro masih mengalami kontraksi berupa pertumbuhan ekonomi negatif 0,1 persen dengan pengangguran 12,1 persen. Negara yang paling sakit, Yunani, penganggurannya 27 persen. Spanyol juga parah, penganggurannya hampir sama tingginya, yakni 26,7 persen. Di zona euro, Jerman yang perekonomiannya terbaik di kawasan ini juga mengalami kontraksi ekonomi 0,3 persen; Perancis berkontraksi 0,4 persen; Italia minus 2,3 persen; dan yang paling parah Yunani dengan minus 5,3 persen. Praktis hampir semua negara pengguna euro pertumbuhan ekonominya negatif (The Economist, 25-31/5).

Ide kontroversial dikemukakan Mario Draghi. Dia ingin lebih agresif mendorong perekonomian dengan menerapkan "suku bunga negatif", yakni bank-bank komersial harus membayar bunga kepada ECB jika mereka menempatkan dananya di bank sentral itu. Kebijakan ini dimaksudkan untuk mendorong bank-bank komersial agar lebih giat menyalurkan dananya ke sektor riil daripada sekadar "memarkir" dananya di bank sentral.

Draghi ingin memacu ekspansi kredit oleh bank komersial sehingga mendorong pertumbuhan ekonomi. Ide kontroversial ini tentu saja memicu perdebatan. Para ekonom penentangnya berargumentasi, rezim kebijakan moneter longgar sudah mencapai batas akhirnya dengan suku bunga 0,5 persen. Kebijakan suku bunga negatif tidaklah relevan dan kontraproduktif (The Wall Street Journal, 27/5).

Rendahnya suku bunga di Eropa inilah yang memicu penguatan kurs dollar AS terhadap semua mata uang di dunia, termasuk mata uang Asia. Di antara negara-negara Asia, rupiah mengalami depresiasi paling tajam, di luar Jepang. Kurs yen menurun dari posisi 80 yen per dollar AS pada setahun lalu menjadi 104 yen per dollar AS saat ini.

Faktor internal

Kedua, dari faktor internal, harus diakui Bank Indonesia termasuk terlambat menaikkan suku bunga acuan BI Rate, yang kini dipertahankan 5,75 persen. Saya termasuk yang mendukung BI agar tetap menahan BI Rate 5,75 persen. Namun, dengan catatan, bila respons pasar negatif, kebijakan ini harus segera dievaluasi. Bagaimana dampak suku bunga acuan ini terhadap volatilitas rupiah dan harga obligasi pemerintah?

Pada awalnya, pasar uang tidak terlalu merespons kebijakan BI Rate tetap 5,75 persen. Itu terjadi hingga pertengahan Mei 2013. Namun, setelah itu, rupiah berangsur-angsur terkulai dan berpotensi menembus Rp 10.000 per dollar AS. Sementara itu, di sisi lain, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) terus mengalami rally hingga menembus batas psikologis baru 5.200. Adapun di industri perbankan, penghimpunan dana pihak ketiga (DPK) mulai seret sejak awal 2013.

Dari kombinasi antara pelemahan rupiah, kenaikan harga saham, dan perlambatan DPK, bisa ditarik benang merah, para pemilik dana mulai melakukan migrasi dananya dari sektor perbankan ke sektor pasar modal, serta mulai "menubruk" valuta asing. Ini merupakan tanda-tanda yang kian jelas bahwa rezim kebijakan suku bunga rendah yang dilakukan BI sudah mencapai limitnya.

Ketiga, keseimbangan eksternal kita masih terus tertekan. Sepanjang tahun 2012, kita mengalami defisit perdagangan 1,6 miliar dollar AS. Tren ini masih berlanjut pada triwulan I-2013. Meskipun mulai membukukan surplus perdagangan pada Maret 2013, dalam tiga bulan pertama 2013 tetap terjadi defisit perdagangan tipis 200 juta dollar AS. Defisit ini menyebabkan cadangan devisa yang pernah mencapai rekor 124,7 miliar dollar AS pada Juli 2011 kini turun menjadi 107,3 miliar dollar AS per April 2013 (Kompas, 28/5). Penurunan cadangan devisa ini menyebabkan kemampuan BI untuk mengawal kurs rupiah juga mengendur.

Menurunnya kepercayaan

Keempat, terjadi penurunan kepercayaan kepada pemerintah. Kegagalan pemerintah untuk menyehatkan APBN melalui pemangkasan subsidi energi (BBM dan listrik) menimbulkan persepsi negatif bagi para pelaku ekonomi. Momentum pemerintah menaikkan harga BBM seharusnya terjadi saat inflasi rendah, misalnya inflasi 4,3 persen pada tahun lalu. Kini, inflasi sudah melejit ke 5,7 persen. Jika harga BBM dinaikkan, inflasi akan menjadi 7,2 persen (versi pemerintah) atau bahkan 7,76 persen (versi BI).

Upaya pemerintah untuk membahas dengan DPR skema kenaikan harga BBM yang disertai dengan pemberian bantuan tunai langsung kepada masyarakat malah menimbulkan kesan pemerintah ingin "berbagi risiko" dengan parlemen. Hal tersebut menambah persepsi negatif bahwa pemerintah tidak memiliki karakter kepemimpinan yang kuat. Ujung-ujungnya, para pemilik dana pun kemudian memindah portofolionya dari memegang rupiah ke valas, terutama dollar AS.

Dari sejumlah analisis tersebut, yang bisa dilakukan adalah menaikkan suku bunga acuan. Rezim suku bunga rendah sulit diteruskan. Keinginan BI untuk terus menurunkan suku bunga—meskipun merupakan ide yang baik untuk mendorong ekspansi kredit perbankan—harus disadari tidak realistis lagi. Semua ada batasnya. Bukan cuma di Indonesia, bahkan di zona euro pun penurunan suku bunga sudah mulai menyentuh level terbawah sehingga tidak bisa ditabrak lebih jauh.

Meskipun sebenarnya kita juga memerlukan rupiah yang melemah untuk membantu daya saing produk-produk ekspor kita, rupiah yang melemah terlalu cepat juga berbahaya. Seperti dikatakan Joseph Stiglitz (2002), sebuah mata uang harus dijaga ekuilibriumnya sehingga memenuhi kebutuhan kredibilitas (kurs menguat), tetapi juga tetap dapat membantu daya saing ekspor (kurs menguat).

Saya memperkirakan, kurs rupiah mestinya dijaga pada level Rp 9.700-Rp 9.800 per dollar AS untuk memenuhi dua kebutuhan ini. Jika saat ini kurs rupiah sudah menabrak Rp 9.800 dan mulai bergerak ke Rp 10.000, dua hal utama bisa dilakukan BI: (1) intervensi dengan melepas cadangan devisanya secara bertahap dan berhati-hati; (2) menaikkan BI Rate secara bertahap. Pada tahap ini, BI Rate dinaikkan menjadi 6 persen. Rapat Dewan Gubernur BI berikutnya baru akan dilakukan awal atau pekan kedua Juni 2013. Namun, apabila dirasakan mendesak, mestinya rapat bisa dimajukan dan disesuaikan dengan urgensi. Repotnya, jika rapat dimajukan, pasar bisa menangkapnya sebagai sentimen negatif sehingga memicu kepanikan di pasar uang.

Karena itu, semoga kebijakan intervensi BI sudah cukup memadai untuk sedikit meredam pelemahan rupiah sambil menunggu momentum rapat untuk menaikkan BI Rate. Apa boleh buat, rezim suku bunga rendah untuk sementara ini belum bisa dilanjutkan. Semoga rehatnya tidak terlalu lama.

A Tony Prasetiantono Kepala Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik UGM

(Kompas cetak, 29 Mei 2013)
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger