Hasil survei Transparency International Indonesia dan hasil jajak pendapat harian ini (Kompas, 6/5) saling melengkapi.
Itu ditandai pesimisme kaum muda dan tidak adanya kepastian hukum menegaskan korupsi sebagai kejahatan sistemik. Kelengkapan itu menjadi lengkap dengan kasus korupsi yang melibatkan kaum muda. Terjadi regenerasi koruptor. Sebagai kejahatan sistemik, persoalan korupsi di Indonesia menyangkut manusia dan sistem. Benar kata Hannah Arrendt, korupsi adalah kejahatan kemanusiaan. AS, sebagai contoh, tidak pandang bulu terhadap koruptor, tetapi "pilih-pilih" terhadap pelaku kejahatan lainnya.
Penjelasan tentang dampak kejahatan kemanusiaan banyak dianalisis. Istilah kejahatan radikal menurut Theodore Adorno, filsuf Jerman, barangkali paling merangkum. Disebut radikal karena menggejala dalam masyarakat luas. Dalam kondisi demikian, kejahatan tak lagi dikenali sebagai kejahatan. Kejahatan menjadi banal, kata Arrendt. Kita berseloroh kejahatan ramai-ramai dengan ekses nyata masyarakat semakin permisif terhadap koruptor.
Kasus korupsi yang ramai belakangan ini—contoh yang didakwakan kepada Djoko Susilo dan Susno Duadji, pejabat dan mantan pejabat tinggi aparat penegak hukum—selain membenarkan korupsi sebagai kejahatan banal, juga sikap melecehkan kewibawaan hukum.
Kasus korupsi dari hulu sampai hilir dikorup, membenarkan pesimisme kaum muda terhadap pemberantasan korupsi. Begitu juga dengan maju-mundurnya upaya pemberantasan korupsi, pro-kontra eksistensi KPK, perlakuan pilih-pilih kasus pun menegaskan betapa kejahatan kemanusiaan ini membelit kehidupan berbangsa kita.
Sejarah perjalanan kita memberantas korupsi tak menorehkan kesuksesan besar. Dibandingkan dengan komisi pemberantasan korupsi terdahulu, KPK dihadapkan pada kondisi serba lebih berat. Tidak saja kondisi ekses negatif reformasi, tetapi juga ketiadaan faktor kepemimpinan.
Banalnya korupsi akan terdukung aparat penegak hukum, dukungan masyarakat berikut lembaga advokasinya, dan ketegasan pemerintah. Apabila persyaratan minimal itu tidak terpenuhi, hentikan menaikkan gaji dan bonus sebagai solusi mengurangi korupsi, kejahatan radikal ini akan semakin merebak sebagai keharusan bersama.
Ketika korupsi jadi keharusan, apalagi jadi keyakinan kaum muda, gelap sudah masa depan Indonesia. Yang muda yang korupsi, belakangan jumlah orang muda yang terlibat makin banyak, tak bisa lagi jadi wacana, tak lagi jadi keluhan, pun jadi trade mark praksis pemerintahan, tetapi bayang gelap masa depan Indonesia.
Terlambatkah kita? Belum! Ekses yang muda yang korupsi lebih mudah menyebar dibandingkan dengan yang muda yang memberi harapan, tetapi ekses itu bisa diperlambat. Merampas aset koruptor dan memiskinkan mereka barangkali solusi ekstrem mencegah Indonesia menuju negara yang benar-benar gagal.
(Tajuk Rencana Kompas, 8 Mei 2013)
Powered by Telkomsel BlackBerry®
Tidak ada komentar:
Posting Komentar