Hasil studi Jared Diamond memperlihatkan bahwa suatu masyarakat dapat mematikan masa depannya sendiri dengan bunuh diri ekologis (Collapse: How Societies Choose to Fail or Survive, 2005).
Ekosida terjadi karena masyarakat dan pemimpinnya membiarkan perusakan lingkungan, alih fungsi hutan tak terkendali, perusakan habitat hewan yang jadi konsumsi warga, pengurasan populasi ikan, kegagalan manajemen air bersih, dan kegagalan pengendalian pertumbuhan jumlah penduduk. Salah satu tujuan Republik berdiri: mencegah ekosida suatu bangsa. Sengaja dibentuk pemerintahan berkedaulatan rakyat yang dipimpin presiden. Ada pemimpin, ada yang dipimpin, kepemimpinan, dan keterpimpinan. Negara bukan republik massa. Hak asasi setiap warga harus terlindung baik dari ancaman massa. Bangunan Republik harus kokoh, sistem ketatanegaraan maupun eksekusinya. Hambatan atas eksekusi, indikasi problem disfungsi negara, dalam jangka panjang berarti pelemahan Republik.
Indikasi pelemahan
Tanda-tanda Republik lemah tampak dari ketakmampuan negara melakukan yang seharusnya demi kebaikan jangka panjang. Kini pers diakui sebagai pilar demokrasi keempat. Namun, kasus kekerasan terhadap wartawan, bahkan kantor media, terus berulang. Keseriusan pemerintah menangani memperlihatkan apakah Republik prodemokrasi. Subsidi BBM dibiarkan meski kebijakan politik itu mempersempit ruang fiskal pemerintah untuk membangun kebutuhan infrastruktur yang mendesak. Malah pemerintah memilih menambah utang untuk subsidi BBM, sementara jumlah utang luar negeri sudah terbesar sepanjang sejarah. Minim ikhtiar berantas penyelundupan BBM yang tak di luar pengetahuan aparat.
Pemborosan BBM tak disinergikan dengan manajemen mengurangi kemacetan. Malah, kemacetan dilihat sebagai indikasi geliat ekonomi. Segala pelanggaran berlalu lintas penyebab kemacetan dibiarkan, bahkan oleh polisi. Republik bisanya hanya memasang rambu-rambu lalu lintas dan membuat peraturan, tetapi lemah dalam penegakan hukum. Padahal, triliunan rupiah dapat dihemat jika manajemen kemacetan berjalan baik. Dalam bidang ekonomi, rakyat hanya menjadi penonton melihat sumber daya alam Republik terkuras dan mereka hanya jadi pasar untuk produk asing yang melimpah. Konstitusi memberikan amanat kepada pemerintah untuk melindungi hak asasi yang lebih lemah. Korban paling menderita akibat kerusakan lingkungan adalah rakyat bawah yang minim perlindungan diri dari bencana.
Pemerintah wajib membangun jembatan sosial untuk mencegah kesenjangan sosial ekstrem di antara masyarakat berpenghasilan tinggi dan rendah. Pemerintah wajib menjamin ketersediaan pangan dan papan yang terjangkau masyarakat berpenghasilan rendah demi generasi masa depan berkualitas. Dulu, penguasa kolonial menaklukkan Nusantara dengan senjata. Kini, Republik ditaklukkan dengan lobi dan perjanjian internasional. Lembaga internasional pemeringkat ekonomi negara seperti memiliki palu penentu nasib suatu negeri. Dalam cengkeraman kapitalisme global, kini banjir penghargaan tertuju kepada penguasa kita yang mudah puas diri.
Pemimpin berjiwa gembala
Pada saat sama, panggung politik kekurangan pemimpin berkualitas. Panggung kita riuh oleh teriakan orang yang merasa dizalimi, padahal dengan kekuasaannya ia telah berbuat sewenang-wenang dan terjerat korupsi. Persoalan sederhana jadi rumit karena pemimpin dikuasai mentalitas pejabat. Pejabat sibuk dengan citra dan hitung-hitungan politik: mengamankan posisi dan keluarganya. Keutamaan politik kalah oleh kalkulasi politik praktis.
Demokrasi Indonesia sedang tanpa kepemimpinan yang berintegritas. Ekses demokrasi bergerak liar menjadi tirani mayoritas dalam bentuk ekonomi (kapitalisme), keagamaan (fundamentalisme), kesukuan (tribalisme), dan massa (anarkisme). Institusi-institusi negara menjadi pulau-pulau tanpa integritas dan tak terintegrasi untuk mencapai tujuan luhur Republik. Kelemahan manajerial terus dibiarkan kendati jelas menyebabkan korupsi tak terkendali. Sesama pejabat saling menghibur dan memaafkan. Tak ada sanksi sosial untuk salah urus yang merugikan rakyat dan keuangan negara. Penguasa sedang mengkhianati panggilannya sebagai pengawal Republik. Negara ini menjadi ajang uji coba petualang politik.
Akibatnya, polisi dan tentara berulang kali terlibat bentrokan. Sekelompok tentara melakukan eksekusi ekstra-yudisial di LP yang seharusnya sangat aman. Sesama aparat penegak hukum berhadap-hadapan: satu melakukan eksekusi, yang lain menghalang-halangi. Republik dibangun di atas konstitusi kerakyatan yang merobohkan dinding sekat-sekat primordial. Sebagai negara hukum, sejatinya hukum ada untuk melindungi warga dari potensi penindasan oleh yang lebih kuat, termasuk negara. Jika suatu hukum terbukti berulang-ulang merugikan kaum yang lebih lemah, demi spirit keutamaan hukum, hukum itu harus dibatalkan.
Pendirian rumah ibadah umat yang lebih lemah seharusnya difasilitasi pemerintah. Negeri akan lebih baik dengan lebih banyak warga berdoa untuk negeri. Ironisnya, pemerintah justru menghambat izin membangun rumah ibadah, menyegel atau membongkar bangunan yang ada. Saat yang sama, begitu banyak bangunan untuk kegiatan komersial yang menyalahi izin dan peruntukan tak mampu ditertibkan. Pemerintah lebih perkasa dengan rumah ibadah.
Salah satu metafora kepemimpinan di Timteng kuno adalah gembala. Tradisi Ibrani mengenal istilah nagid untuk raja sebagai pemimpin dengan model gembala. Nabi mengkritik pemimpin yang menggembalakan diri sendiri, memikirkan kepentingan sendiri. Mereka hanya memanfaatkan susu, bulu, dan daging domba. Domba makan rumput yang telah diinjak-injak dan minum air yang telah dikeruhkan gembala. Domba yang lemah tak dipelihara, sakitnya tak diobati, lukanya tak dibalut. Yang tercerai-berai tak dikumpulkan, dibiarkan jadi mangsa hewan buas. Sebaliknya, domba merasa aman di tangan gembala yang baik dan mengenali suaranya. Gembala menuntun kawanan domba ke padang rumput yang hijau untuk makan dan berbaring, juga ke air yang tenang. Ketika serigala datang mengancam keselamatan domba, ia tak lari meninggalkan, tetapi siap mempertaruhkan nyawanya menghalau pergi serigala itu. Ia berdiri di depan sebagai pemimpin, pembela, dan penunjuk arah. Dalam keadaan aman, ia berdiri di belakang mereka.
Sekelompok massa mendesak pemerintah untuk mengusir sekelompok rakyat hanya karena identitas keagamaan. Pemerintah pun tunduk pada aspirasi inkonstitusional. Rakyat tak dididik untuk menjunjung konstitusi. Pemerintah menjalankan politik mayoritas-minoritas dan toleran atas intoleransi. Pelemahan Republik hanya bisa diselamatkan oleh kehadiran pemimpin berjiwa gembala.
Yonky Karman Pengajar di STT Jakarta
(Kompas cetak, 20 Juni 2013)
Powered by Telkomsel BlackBerry®
Tidak ada komentar:
Posting Komentar