Menjelang Hari Tanpa Tembakau Sedunia, 31 Mei lalu, serombongan mahasiswa berdemonstrasi di Gedung DPR/MPR dengan spanduk bertuliskan "RUU Pertembakauan Pesanan Asing".
Waktu itu saya berpikiran bahwa tuduhan mahasiswa itu agak terlalu jauh. Masalahnya dimulai dengan masuknya RUU Pertembakauan yang serba mencurigakan seperti yang diungkap sebuah mingguan. RUU tersebut masuk ke Badan Legislasi (Baleg) DPR pada akhir 2012 dan segera ditanggapi oleh Baleg masuk ke dalam prioritas yang akan dibahas pada 2013 ini juga. Padahal, RUU tentang Tembakau yang diusulkan oleh kelompok Pengendalian Tembakau beberapa tahun sebelumnya dan didukung lebih dari 240 anggota diendapkan.
RUU Pertembakauan yang diusulkan kelompok produsen rokok belakangan justru disambut dan langsung masuk prioritas. Meski mendapat reaksi dalam sidang pleno DPR dan diberi "bintang", yang artinya ditunda pembahasannya, sekarang RUU itu terus berjalan dan malah sudah dilakukan kunjungan kerja. Prosedur ini, menurut Sumarjati Arjoso, anggota DPR dari Gerindra, menyimpang.
Tergesa-gesa
Ketergesa-gesaan Baleg ini menimbulkan berbagai pertanyaan. Namun, apakah RUU Pertembakauan di DPR ini muncul sebagai pesanan asing atau tidak sulit dibuktikan. Hanya saja, hampir bersamaan dengan itu, empat Senator AS telah menyurati negara-negara Uni Eropa (UE). Isinya meminta agar UE jangan buru-buru mengendalikan konsumsi rokok karena sikap seperti itu akan melukai hubungan dagang AS dengan Eropa. Demikian diberitakan Wall Street Journal edisi 6 Juni 2013. "Kami (para Senator AS) sangat memperhatikan rencana pengendalian rokok di Uni Eropa serta dampaknya bagi perdagangan lintas Atlantik", demikian antara lain isi surat itu.
Industri rokok Amerika sudah lama merasa terkendala berbisnis di negerinya sendiri akibat ketatnya berbagai aturan tentang konsumsi rokok di AS. Tampaknya Pemerintah AS lebih senang bila industri rokok mereka meluaskan pasarnya di negara lain. Dapat dimengerti ketika negara lain mulai mengetatkan konsumsi rokok, Pemerintah AS turun tangan, seperti yang terjadi terhadap UE di atas.
Industri rokok AS meminta bantuan pemerintahnya, setidaknya para senator, menekan agar pemerintah negara lain tak terlalu keras mengatur konsumsi rokok. Hal serupa juga sudah pernah dilakukan pada 1980-an. Pemerintah AS, melalui Menteri Perdagangan dan perwakilannya di negara-negara Asia, menekan negara-negara tersebut agar menerima kehadiran rokok AS. Dalam buku The Cigarette Century, Allan M Brandt mengutip catatan konsul perdagangan AS di Seoul, "Saya ingin menekankan bahwa kedutaan bersama seluruh pemerintahan di Washington akan tetap mengedepankan kepentingan Philip Morris dan semua industri rokok Amerika dalam tugas kita sehari-hari."
Berdua muka
Mereka mengetahui bahwa ketika itu pemerintah negara-negara itu belum melihat pengendalian konsumsi rokok sebagai prioritas. Pemerintah AS berpolitik dua muka, seperti diulas Glenn Frankel di Washington Post, 1996. "Ketika satu tangan Pemerintah AS mengingatkan bahaya merokok pada rakyatnya, tangan yang lain membantu industri rokok AS mencari perokok baru di negara lain." Terutama di bekas Uni Soviet dan Asia.
Anehnya, Clayton Yeutter, representatif perdagangan AS, menuduh negara yang mengendalikan rokok atas alasan kesehatan sebagai munafik. Ketika Thailand membuat UU yang melarang penjualan rokok impor, Pemerintah AS mengadukan hal itu ke GATT. Namun, Thailand menang karena alasan melindungi kesehatan warganya. Yang sangat bergembira menyambut kehadiran industri rokok AS adalah Indonesia. Indonesia jadi ladang penjualan rokok AS (termasuk BAT) yang subur sampai kini. Mereka menguasai sepertiga lebih pasar rokok Indonesia dan membawa untung kembali ke negerinya.
Tak jelas apakah ketergesa-gesaan Baleg menyiapkan RUU yang melindungi industri rokok sejalan dengan desakan Senator AS ke Uni Eropa atau hanya kebetulan. Hanya Tuhan, anggota Baleg, dan Pemerintah AS yang tahu! Bagi AS, Indonesia adalah anak manis penurut. Mungkin kita takut bahwa pengendalian rokok yang ketat akan merusak hubungan dagang AS-RI. Bagi pakar hukum dan etika Griffith University Australia, Charles Sampford, industri rokok dan pendukungnya: Corrupt Corporation that Kills their Consumers.
Kartono Mohamad Ketua TCSC-IAKMI
(Kompas cetak, 20 Juni 2013)
Powered by Telkomsel BlackBerry®
Tidak ada komentar:
Posting Komentar