Cari Blog Ini

Bidvertiser

Sabtu, 27 Juli 2013

KPK dan Pencucian Uang (Muhammad Yusuf)

Oleh: Muhammad Yusuf

Sikap dua anggota majelis hakim dalam perkara impor daging dengan terdakwa Ahmad Fathonah, yang berpendapat bahwa KPK tak berwenang menuntut perkara tindak pidana pencucian uang, membuat banyak orang terkejut, apalagi adanya beda pendapat itu menjadi berita utama di beberapa media cetak nasional.
Keterkejutan terhadap sikap itu bukan karena kasus korupsi impor daging merupakan kasus besar, melainkan publik berharap dengan cemas jika benar KPK tidak dapat menuntut perkara tindak pidana pencucian uang (TPPU), bagaimana dengan kasus-kasus korupsi yang disidik oleh KPK tetapi asetnya menyebar ke sejumlah pihak, mengalir ke banyak pihak, dan bagaimana dengan upaya pengembalian kerugian negara atas kasus-kasus korupsi tersebut.

Sebagai salah satu anggota tim yang membidangi lahirnya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (PP TPPU), penulis merasa terpanggil urun rembuk dalam berbagi pendapat terhadap hal tersebut.

Masih jelas di benak penulis bahwa salah satu pertimbangan perlunya memperluas penyidik TPPU adalah banyaknya penyidik yang berwenang melakukan penyidikan terhadap tindak pidana asal yang diatur dalam Pasal 2 UU No 25/2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang. Seperti Penyidik KPK dan Kejaksaan untuk kasus korupsi, penyidik Bea dan Cukai untuk tindak pidana penyelundupan, penyidik pajak untuk tindak pidana perpajakan, penyidik BNN untuk tindak pidana narkotika, serta penyidik kepolisian untuk semua tindak pidana.

Diberikannya kewenangan penyidikan tersebut bertujuan utama agar sejak dini penyidik dapat melakukan penelusuran dan penyitaan aset sebagai upaya pengembalian kerugian negara atau pihak ketiga. Sekaligus ini merupakan upaya penciptaan keadilan dan kepastian hukum dengan pertimbangan bahwa yang diproses tidak hanya pelaku tindak pidana asal, tetapi juga pihak-pihak yang menikmati hasil kejahatan tersebut.

Kinerja KPK: baik
KPK sebagai institusi yang diberikan kewenangan menyidik dan menuntut tindak pidana korupsi tertentu selama ini telah menunjukkan kinerja yang baik. Namun, dalam beberapa kasus, KPK tidak berdaya menyidik dan menuntut pihak-pihak yang menikmati hasil kejahatan tindak pidana korupsi tertentu tersebut. Antara lain dalam kasus tindak pidana korupsi Dana Yayasan Bank Indonesia, tindak pidana korupsi cek pelawat, dan tindak pidana korupsi pengadaan mobil pemadam kebakaran. Kondisi ini jelas menimbulkan ketidakadilan mengingat sang koruptor dihukum, tetapi yang menikmati hasilnya santai duduk manis bersenang-senang dengan hasil kejahatan tersebut. Akibat akhirnya, uang kejahatan itu tidak dapat dirampas, bahkan dapat dijadikan "modal" untuk lahirnya tindak pidana yang baru. Untuk itu, kepada KPK perlu diberikan wewenang untuk menyidik dan menuntut TPPU yang berasal dari tindak pidana korupsi.

Lantas, apa dasar bahwa KPK berwenang menuntut TPPU? Dalam UU No 8/2010 tentang PP TPPU kewenangan KPK menyidik TPPU dinyatakan secara tegas dalam penjelasan Pasal 74, sedangkan kewenangan KPK menuntut memang tidak disebutkan secara tegas sebagai mana kewenangan untuk melakukan penyidikan, tetapi bukan berarti KPK tidak berwenang menuntut TPPU.

Dalam Pasal 51 Ayat (3) UU No 30/2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi disebutkan bahwa penuntut umum (pada KPK) adalah jaksa penuntut umum.

Pasal 2 Ayat (3) UU Kejaksaan menyatakan, Kejaksaan adalah "satu dan tidak terpisahkan". Bagian penjelasan atas pasal tersebut menyatakan bahwa yang dimaksud dengan "Kejaksaan adalah satu dan tidak terpisahkan" adalah satu landasan dalam pelaksanaan tugas dan wewenangnya di bidang penuntutan yang bertujuan memelihara kesatuan kebijakan di bidang penuntutan sehingga dapat menampilkan ciri khas yang menyatu dalam tata pikir, tata laku, dan tata kerja Kejaksaan berdasarkan undang-undang. Ketentuan ini dikenal dengan prinsip een on deelbaar.

Oleh karena hanya ada satu jaksa, baik yang di Kejaksaan Agung maupun di KPK, maka kata penuntut umum dalam Pasal 72 dan Pasal 75 UU No 8/2010 tentang PP TPPU mengacu kepada hal yang sama.

Selanjutnya dalam Pasal 68 UU No 8/2010 tentang PP TPPU disebutkan bahwa penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan serta pelaksanaan putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap terhadap tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam UU ini dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, kecuali ditentukan lain dalam UU ini.

Rumusan tersebut memberikan pesan bahwa penyidikan, prapenuntutan, penuntutan, dan persidangan tidak hanya didasarkan pada KUHAP, tetapi juga pada undang-undang yang lain, termasuk UU No 30/2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Pasal 75 UU TPPU menyatakan, dalam hal penyidik menemukan bukti permulaan yang cukup terjadinya tindak pidana pencucian uang dan tindak pidana asal, penyidik menggabungkan penyidikan tindak pidana asal dengan penyidikan tindak pidana pencucian uang dan memberitahukannya kepada Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK).

Tidak efektif
Hal tersebut sangat jelas bahwa sejak awal penyidikan di dalam UU No 8/2010 tentang PP TPPU, soal penuntut umum ini sudah diminta untuk digabung. Namun, jika penuntutannya dipecah, seperti tindak pidana korupsi ke KPK, sedangkan untuk perkara TPPU ke Kejaksaan, hal itu menjadi tidak efektif dan tidak efisien, padahal keduanya penuntut umum

Demikian juga Pasal 6 UU No 46/2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi dengan tegas menyatakan, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara (a) tindak pidana korupsi; (b) tindak pidana pencucian uang yang tindak pidana asalnya adalah tindak pidana korupsi; dan/atau (c) tindak pidana yang secara tegas dalam undang-undang lain ditentukan sebagai tindak pidana korupsi.

Adapun pendapat dua hakim yang berbeda dengan mendasarkan Pasal 72 Ayat (5) Huruf c UU No 8/2010 tentang PP TPPU yang berbunyi surat permintaan untuk memperoleh keterangan Jaksa Agung atau Kepala Kejaksaan Tinggi dalam hal permintaan diajukan oleh jaksa penyidik dan/atau penuntut umum, juga tidak dapat dijadikan dasar untuk menyatakan KPK tidak berwenang menuntut. Justru ketentuan pasal ini memperkuat asas een on deelbaar, yang artinya manakala penuntut umum KPK ingin meminta informasi harta kekayaan terdakwa, maka permintaan tersebut dapat dilakukan dengan mengajukan permohonan kepada Jaksa Agung selaku penuntut umum tertinggi.

MUHAMMAD YUSUF, Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan

(Kompas cetak, 27 Juli 2013)
Powered by Telkomsel BlackBerry®

1 komentar:

Powered By Blogger