Cari Blog Ini

Bidvertiser

Jumat, 26 Juli 2013

Pengetatan Remisi dan Pembebasan Bersyarat (Eddy OS Hiariej)

Oleh: Eddy OS Hiariej

Di harian ini edisi 12 November 2011, saya menulis artikel dengan judul, "Kontroversi Moratorium Remisi". Dalam artikel tersebut saya menyatakan jika moratorium diartikan sebagai penghentian sementara remisi dan pembebasan bersyarat kepada narapidana korupsi, hal ini jelas bertentangan dengan hak asasi manusia.

Akan tetapi, jika yang dimaksud oleh Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia dengan moratorium adalah pengetatan persyaratan remisi dan pembebasan bersyarat narapidana korupsi, haruslah didasarkan pada aturan tertulis dan parameter yang jelas sehingga kebijakan tersebut tidak disalahgunakan.

Saat ini kontroversi terhadap pengetatan persyaratan remisi dan pembebasan bersyarat narapidana korupsi, terorisme, narkotika-psikotropika, kejahatan terhadap keamanan negara, kejahatan HAM yang berat dan kejahatan transnasional terorganisasi lainnya kembali mengemuka menyusul permohonan uji materi ke Mahkamah Agung terhadap Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 tentang Tata Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan yang memuat pengetatan tersebut.

Peraturan pemerintah a quo dianggap bertentangan dengan undang-undang pemasyarakatan dan undang-undang HAM. Inti dari permohonan uji materi tersebut adalah pengetatan remisi dan pembebasan bersyarat tidak dibenarkan karena remisi dan pembebasan bersyarat adalah hak setiap narapidana tanpa adanya pembedaan tindak pidana yang dilakukan.

Beberapa catatan
Terkait substansi permohonan ini, ada beberapa hal yang perlu dijelaskan. Pertama, remisi adalah hadiah yang diberikan kepada narapidana berupa pengurangan hukuman saat hari raya keagamaan atau hari ulang tahun kemerdekaan. Adapun pembebasan bersyarat adalah hak narapidana yang telah menjalani dua pertiga dari lamanya pidana penjara yang dijatuhkan yang sekurang-kurangnya 9 bulan.

Secara eksplisit Pasal 15 Ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana mengatur pembebasan bersyarat yang menyatakan, "Jika terpidana telah menjalani dua pertiga dari lamanya pidana penjara yang dijatuhkan kepadanya, yang sekurang-kurangnya harus sembilan bulan, maka kepadanya dapat diberikan pembebasan bersyarat. Jika terpidana harus menjalani beberapa pidana berturut-turut, pidana itu dianggap sebagai satu pidana".

Kedua, kendati remisi dan pembebasan bersyarat adalah hak setiap narapidana, tidak serta-merta setiap narapidana harus mendapatkannya. Hal ini tergantung apakah narapidana selama menjalankan proses pemasyarakatan berkelakuan baik ataukah tidak. Oleh karena itu, kewenangan untuk memberikan hak tersebut ada pada negara yang dalam hal ini adalah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia berdasarkan penilaian terhadap narapidana yang bersangkutan selama menjalani proses pemasyarakatan.

Konstruksi Pasal 15 Ayat (1) KUHP sebagaimana disebut di atas telah mengisyaratkan bahwa pembebasan bersyarat dapat diberikan setelah menjalani dua pertiga masa hukuman atau sekurang-kurangnya sembilan bulan. Adanya kata dapat, menunjukkan bahwa ketentuan tersebut bersifat fakultatif dan bukan imperatif.

Ketiga, dalam konteks teori, Charles F Abel dan Frank H Marsh dalam Punishment and Restitution: A Restitutionary Approach to Crime and the Criminal mengemukakan bahwa hukuman diterapkan hanya kepada pelaku kejahatan sesuai dengan tingkat kejahatan yang dilakukannya. Hukuman yang dimaksudkan di sini tidak hanya sebatas pidana penjara yang harus dijalankan atau denda yang harus dibayarkan, tetapi juga termasuk perlakuan dalam pengertian pemberian hak-hak narapidana disesuaikan dengan tingkat kejahatan yang dilakukan.

Keempat, merujuk pada apa yang dikemukakan Abel dan Marsh, jika dikaitkan dengan peraturan pemerintah a quo yang pada hakikatnya memperketat pemberian remisi dan pembebasan bersyarat sudahlah tepat.

Pengetatan tersebut hanya ditujukan terhadap kejahatan korupsi, terorisme, narkotika, dan pelanggaran berat HAM yang notabene adalah extraordinary crime. Kejahatan-kejahatan tersebut bertaraf internasional yang memiliki karakter terstruktur, sistematis, dan masif. Dengan demikian, peraturan pemerintah a quo memiliki alasan rasional yang didukung secara teoretis.

Kelima, peraturan pemerintah a quo memuat persyaratan dan parameter yang jelas terkait pengetatan tersebut agar tidak disalahgunakan. Pengetatan tersebut sangat dimungkinkan sebagai efek jera dan tidak melanggar hak asasi manusia. Tegasnya, tidak ada yang salah dengan pengetatan tersebut sebagaimana dimaksud dalam peraturan pemerintah a quo.

Eddy OS Hiariej, Guru Besar Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada

(Kompas cetak, 26 Juli 2013)
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger