Cari Blog Ini

Bidvertiser

Sabtu, 27 Juli 2013

Sapi Indonesia Vs Australia (Muladno)

Oleh: Muladno

Dalam konteks peternakan sapi, Indonesia dan Australia tak layak dibandingkan karena bukan perbandingan apel ke apel. Meski demikian, saya ingin menyajikan dinamikanya dan bagaimana akhir perbandingan tersebut saat ini.

Di Indonesia lebih dari 98 persen ternak dikuasai 6,5 juta peternak kecil dengan skala kepe- milikan 2-3 ekor per peternak. Ternak dipelihara di belakang ru- mah dan peternak memberi makan di sisa waktunya setelah usaha pokoknya selesai. Hanya kurang dari 2 persen sapi ternakan dikuasai perusahaan ternak besar di Indonesia. Yang dipelihara pun sapi bakalan dari Australia.

Di Australia sapi ternakan dikuasai hanya ratusan peternak besar dengan skala kepemilikan puluhan ribu ekor per peternak. Ternak dipelihara di lahan pastura puluhan ribu hektar. Ini satu beda pokok. Masih banyak beda lain yang semuanya mengarah pada daya saing peternakan sapi di Australia jauh lebih tinggi daripada di Indonesia.

Di Australia pada Juni 2013 harga daging sapi Rp 37.830 per kg, lebih rendah ketimbang harga pada Desember 2012: Rp 42.195 per kg. Mungkin salah satu penyebab penurunan harga itu dipicu kebijakan Pemerintah Indonesia membatasi impor daging sapi dan impor sapi.

Di Indonesia sebaliknya. Sejak November 2012, harga daging sapi naik hingga menembus Rp 100.000 per kg pada Juni 2013. Padahal, harga yang wajar menurut beberapa peternak Rp 75.000. Berdasarkan harga itu, sangat jelas konsumen di Indonesia paling dirugikan. Idealnya konsumen membeli daging dengan harga murah, tetapi peternak tetap untung. Kalau membuat harga daging murah dengan bebas membuka keran impor daging dari Australia, peternak yang buntung seperti kejadian pada tahun 2009 dan 2010. Jadi, itu cara yang tidak pas. Perlu dicari solusi agar terjadi keseimbangan yang menguntungkan peternak sebagai produsen dan konsumen.

Pandangan saya begini. Karena ada pengetatan kuota impor daging sapi dan impor sapi bakalan, pengusaha penggemukan sapi (PPS) membeli sapi bakalan dari peternak kecil. PPS ini pada posisi membutuhkan sapi sehingga harga sapi bakalan di peternak lumayan tinggi dan peternak pun semringah. Namun, tingginya harga di peternak kecil masih masuk kalkulasi untung di pihak PPS. Akibatnya, para belantik (perantara) gigit jari karena kesulitan mendapatkan sapi. Peternak lebih suka menjual sapi kepada pengusaha besar daripada kepada belantik karena harga lebih baik. Hanya peternak yang terdesak situasi saja yang melepas sapinya kepada belantik.

Hal ini berimbas kepada para jagal kecil. Pasokan sapi sulit didapat sehingga daging di pasaran langka. Hukum ekonomi pun berjalan: harga daging melonjak naik. Situasi seperti ini mulai tampak sejak November 2012.

Kesempatan harga daging yang tinggi di Indonesia ini tidak disia-siakan PPS. Mereka mengerem pelepasan sapi mereka untuk dipotong sehingga harga daging tetap tinggi. Mumpung ada kesempatan mengeruk untung banyak, mengapa tak dilakukan?

Selama ini yang untung besar importir daging saja, bukan importir sapi bakalan, karena selisih harga daging di Australia dan di Indonesia jauh. Jadi, pihak yang berwajah murung pada situasi saat ini adalah belantik, jagal kecil, importir daging sapi, dan konsumen! Yang gembira: PPS.

Peran pemerintah
Bagaimana pemerintah harus memainkan peran? Dalam jangka pendek dan sudah dilaksana- kan adalah mengimpor daging sapi. Importirnya bulog, dengan harapan harga daging sapi turun sampai ke Rp 75.000 per kg. Jika langkah ini berhasil dan digunakan terus selanjutnya, ini bisa berbahaya. Pelan tetapi pasti, sapi lokal kita habis terkuras. Hasil Sensus Pertanian 2013 mengindikasikan kekhawatiran ini.

Sensus Pertanian 2013 (Kompas, 17 Juli 2013) menyimpulkan, populasi sapi turun 19 persen dari data yang dirilis pada 2011. Kita menghormati data ini karena diterbitkan BPS yang kompeten. Dosa akibat hasil itu seolah-olah dibebankan kepada Kementerian Pertanian saja, lebih khusus Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan (Ditjen PKH), sebagai lembaga pemerintah yang berwenang teknis dalam peternakan. Tak semudah itu!

Anggaran yang digelontorkan pemerintah pusat ke Ditjen PKH menjalankan program swasembada daging sapi dan kerbau hanya sanggup membenahi usaha persapian di Indonesia tak lebih dari 10 persen populasi sapi lokal yang dikuasai peternak kecil itu. Misalnya, kegiatan pengendalian pemotongan sapi betina produktif hanya sanggup ditargetkan (2013) 142.520 sapi; distribusi pejantan pemacek ke wilayah noninseminasi buatan ditargetkan 6.250 ekor; peningkatan gizi pakan ditargetkan untuk sekitar 32.000 sapi.

Anggaran yang tak banyak itu juga digunakan untuk kegiatan lain yang tak langsung berdampak pada peningkatan populasi sapi, seperti pembentukan kelompok baru bagi peternak pemula, pelatihan bagi inseminator, dan peningkatan keterampilan peternak.

Jika kegiatan yang ditargetkan pada 2013 itu berhasil 100 persen, jelas dampaknya hanya dirasakan oleh, dugaan saya, tidak lebih dari 400.000 sapi. Padahal, jumlah sapi lokal betina produktif di Indonesia yang perlu dibenahi dan ditingkatkan produktivitasnya sekitar 3,5 juta ekor. Jadi, banyak ternak lokal dan peternak kecil yang tak tersentuh program swasembada. Banyak pula peternak yang tidak tahu program swasembada daging karena kebanyakan dari mereka lulusan SD/SMP saja.

Jadi, peternak kecil di Indonesia bertanding sendiri dengan peternak di Australia untuk memenuhi kebutuhan daging sapi bagi konsumen Indonesia, khususnya di Jabodetabek. Siapa yang menang? Dua-duanya masih semangat beternak sapi, tetapi juara saat ini: PPS. Importir daging sebagian berurusan dengan KPK dan menyeret petinggi partai.

Momentum ini harus mengubah strategi pemerintah membangun peternakan sapi di Indonesia dengan anggaran terbatas itu. Gotong royong pemerintah, pengusaha, dan peternak kecil harus dioptimalkan.

Muladno, Guru Besar Fakultas Peternakan IPB

(Kompas cetak, 27 Juli 2013)
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger