Untuk menyebut beberapa nama, mereka antara lain Joko Widodo (Jokowi), Ganjar Pranowo, Rieke Diah Pitaloka, Maruarar Sirait, Hasto Kristiono, Puan Maharani, Puti Guntur Soekarno, Rustriningsih, Eva Kusuma Sundari, Pramono Anung Wibowo, Effendi MS Simbolon, Arif Budimanta, Arif Wibowo, Budiman Sudjatmiko, dan Ahmad Basarah.
Melihat berkibarnya para politisi muda itu, seorang karib dari Universitas Gadjah Mada, Cornelis Lay (Conny), mengatakan kepada penulis bahwa menurut bacaan dia, pengaderan di tubuh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan sejatinya berjalan dalam irama relatif cepat dan konstan. Namun, banyak orang tidak menyadarinya. Sebagai politisi yang mempunyai pengalaman panjang, Megawati Soekarnoputri mempersiapkan itu semua. Saya menyetujui amatan Conny.
Dua kutub
Menurut spekulasi penulis, sebagai politisi paling matang saat ini, Megawati tak dibebani politik dinasti. Dalam arti, siapa pun kader yang baik, yang memanggul prinsip bahwa berpolitik adalah dalam rangka bernegara, dan bernegara adalah berkonstitusi berhak mendapatkan tempat dan dukungan penuh dari partai. Indikasinya, Megawati tidak pernah mau terlibat perdebatan dangkal, apalagi sekadar menyangkut figur calon presiden 2014.
Dengan atmosfer seperti itu, PDI-P hampir dipastikan menjadi salah satu kutub politik paling kuat dalam kontestasi politik 2014. Indikator awalnya bisa diidentifikasi dua bulan terakhir. Hampir semua hasil survei yang dilakukan lembaga independen menunjukkan, PDI-P diprediksi menjadi pemenang Pemilu 2014 mengungguli Partai Golkar.
Fenomena tersebut, selain membenarkan argumen bahwa sejarah politik kita adalah sejarah tokoh, juga membenarkan pandangan bahwa konsolidasi dan pengaderan partai merupakan faktor penting dalam kerja politik. Benar bahwa popularitas dan kredibilitas Jokowi ikut mendongkrak preferensi politik masyarakat terhadap PDI-P. Namun, tanpa konsistensi Megawati dalam melakukan pengaderan dan konsolidasi selama ini, tanah politik tidak akan gembur. Pendeknya, seperti kata Emak, roda satu tidak bisa bergerak (rodho siji ora mlaku).
Mencermati gerak politik, platform, karakter, dan figur-figur utama partai politik peserta pemilu, secara hipotesis bisa dikatakan bahwa Partai Nasional Demokrat (Nasdem) dan Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI) kemungkinan besar akan merapat ke PDI-P setelah pemilu legislatif nanti. Mereka membangun koalisi dan menjadi salah satu kutub terkuat, sebut saja kutub PDI-P, siapa pun yang diajukan sebagai pasangan calon presiden dan wakil presiden.
Kutub PDI-P tersebut akan berhadapan dengan kutub terkuat lainnya, yaitu Partai Demokrat (PD) dan mitra koalisinya. Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Persatuan Pembangunan (PPP), dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) diduga akan bergabung dengan PD karena karena setiap partai mustahil mengalami lompatan perolehan suara dalam pemilu legislatif.
Meskipun PAN dan PKB sementara ini mempunyai orientasi sendiri menyangkut calon presiden, tetapi selama ini mereka terlihat nyaman menjadi mitra koalisi PD. Kecenderungan tersebut bisa jadi berlanjut pada 2014. Bahkan Partai Keadilan Sejahtera (PKS), yang sering berbeda sikap politik dengan PD, diduga juga tak akan beranjak dari format koalisi yang sekarang berlaku.
Sehubungan dengan hal tersebut, dengan melempar konvensi sebagai strategi untuk menjaring calon presiden, PD akan memperoleh figur yang ketokohannya mencukupi karena dalam batas-batas tertentu, ia juga dipilih oleh publik. Dengan bahasa lain, karena gerak politik acap kali tidak linier, PD sedang mencari tokoh yang mempunyai "aura untuk menang".
Oleh karena itu, menurut saya, PD tidak akan berani main-main dengan konvensinya, apalagi memanipulasi hasil konvensi. Sekali itu dilakukan, kehancuran yang dramatis akan menimpa partai tersebut. Terlebih PD miskin kader muda yang moncer karena beberapa di antara mereka terbelit kasus korupsi. Dengan demikian, siapa pun yang memenangi konvensi, pada skala terbatas boleh disebut sebagai pilihan "masyarakat". Ia akan berhadapan dengan calon presiden dari kutub PDI-P, entah Megawati atau Jokowi, dengan seluruh keotentikan yang dimiliki.
Kutub alternatif
Pemberitaan mengenai dua kutub politik itu (kutub PDI-P dan PD) kini mendominasi ranah publik. Partai-partai lain, termasuk Golkar dan Gerindra, untuk sementara ini terkesan menghilang dari tangkapan radar media. Gerak Golkar sejauh ini belum menarik antusiasme media. Adapun Prabowo Subianto, yang mempunyai elektabilitas tinggi, manuvernya juga belum menjadi magnet pemberitaan sehingga belum mendongkrak preferensi publik kepada Gerindra.
Kalau politik diartikan sempit sebatas merebut kekuasaan dan memenangi kontestasi politik, hanya dengan membangun koalisi bersama, Golkar dan Gerindra akan mampu menjadi kutub alternatif. Apalagi jika mereka diperkuat kehadiran Hanura dan Partai Bulan Bintang (PBB). Tidak tertutup kemungkinan, kutub ini akan mampu menggeser posisi Kubu PD dan berhadapan dengan Kutub PDI-P.
"Rodho siji ora mlaku," kata Emak.
(SUKARDI RINAKIT, Peneliti Senior Soegeng Sarjadi Syndicate)
(Kompas cetak, 27 Agustus 2013)
Powered by Telkomsel BlackBerry®
Tidak ada komentar:
Posting Komentar