Rudi selama ini dikenal sebagai akademisi yang berintegritas, menguasai bidang kerjanya, dan tak menunjukkan gaya hidup berlebih. Berlatar belakang Guru Besar Teknik Perminyakan ITB, Rudi diharapkan dapat menggairahkan kembali sektor migas nasional yang lesu darah.
Namun, apa lacur, Rudi telah tersuruk ke ladang bisnis yang licin. Pablo Perez Alfonso, mantan Menteri Perminyakan Venezuela dan salah seorang pendiri OPEC, menyebut, bisnis minyak adalah bisnis kotoran iblis, sarat permainan kotor, intrik, dan konspirasi. Ia disebut emas hitam, persis seperti sejarahnya yang bergelimang noda hitam.
Sejarah hitam
Kasus yang menimpa Rudi bukan kali pertama terjadi dalam sejarah perminyakan nasional. Terbilang senior dalam mengelola perminyakan, Indonesia punya sejarah panjang penyimpangan. Pengusahaan minyak Nusantara telah dimulai pada 1871, tetapi sejarah industri migas nasional sebenarnya berawal pada 1960 ketika Pemerintah RI mengesahkan UU No 44 Prp. 1960 tentang Pertambangan Minyak dan Gas Bumi. Tidak ada catatan korupsi sektor migas pada era Orde Lama sebab Indonesia baru merintis pengusahaan migas dengan ditandatanganinya tiga kontrak karya (KK) antara tiga perusahaan negara dan tiga perusahaan minyak asing pada 1963, yaitu PN Pertamin dengan PT Caltex Pacific Indonesia, PN Permina dengan PT Shell Indonesia, dan PN Permigan dengan PT Stanvac Indonesia.
Ketika Soeharto mengambil alih kekuasaan dan menunjuk Ibnu Sutowo memimpin Pertamina, yang merupakan hasil fusi Pertamin, Permina, dan Permigan, perusahaan negara ini langsung menjadi sapi perah dan ladang korupsi paling besar elite pemerintahan. Komisi Empat yang dibentuk Presiden untuk menyelidiki dugaan korupsi merekomendasikan agar Pertamina dibentuk dengan UU khusus. Maka lahirlah UU No 8/1971 tentang Pertamina, yang menunjuk Pertamina sebagai pemegang kuasa pertambangan (KP) untuk memonopoli mata rantai pengusahaan migas dari hulu sampai hilir. Untuk membatasi kontrol langsung Presiden Soeharto dan para perwira tinggi militer, dibentuk Dewan Komisaris Pemerintah untuk Pertamina (DKPP) yang terdiri dari Menteri Pertambangan, Menteri Keuangan, dan Kepala Bappenas.
DKPP dimaksudkan untuk mengawasi kinerja direksi, tetapi ternyata gagal menghentikan korupsi di tubuh Pertamina karena mereka adalah para pembantu Presiden yang tidak berani menolak tekanan para perwira tinggi Angkatan Darat, keluarga Soeharto, dan kroni-kroni Cendana. Berbagai bentuk korupsi telah menggerogoti Pertamina.
Ketika Ibnu Sutowo diberhentikan pada 1976, utang Pertamina mencapai 10,5 miliar dollar AS, jauh lebih besar daripada seluruh utang yang diwariskan Orde Lama. Senyampang dengan itu, pemerintah menerbitkan Inpres No 12/1975 tentang Pengelolaan Dana Hasil Usaha Migas, yang mewajibkan seluruh penerimaan migas masuk ke rekening pemerintah, cq Depkeu.
Sejarah pengerdilan Pertamina pun dimulai sebab melalui Inpres ini Pertamina terhalang mengakumulasi modal untuk mencari minyak dan mengembangkan kemampuan di sektor hulu. Pertamina akhirnya tersuruk sebagai penjual dan pengecer minyak yang hidup dari bisnis hilir, serta mengandalkan pendapatannya dari retention fee dari fungsinya sebagai administrator kontraktor asing. Jangankan memburu ladang-ladang migas di luar negeri, Pertamina bahkan dilarang mengambil risiko mengembangkan sektor hulu di negeri sendiri.
Pengerdilan Pertamina tidak mengurangi usaha kroni-kroni Cendana untuk terus menambang rezeki Pertamina dari hulu ke hilir. Ketika Soeharto lengser, Departemen Pertambangan dan Energi mencatat ada sekitar 159 perusahaan milik kroni Soeharto di Pertamina. Jaringan bisnis mereka mencakup kegiatan eksplorasi dan eksploitasi, konstruksi, pengolahan, dan distribusi yang berpotensi merugikan negara 1,7 miliar dollar AS atau sekitar Rp 18 triliun dengan kurs saat ini (Syeirazi, 2009).
Tidak lebih baik
Monopoli dan korupsi menjadi pintu masuk untuk merombak Pertamina dengan mengganti UU No 8/1971 tentang Pertamina dengan UU No 22/2001 tentang Migas. Namun, UU baru ini sebenarnya lebih buruk daripada pendahulunya. UU Pertamina dengan sistem production sharing contract (PSC)-nya yang khas telah ditiru banyak negara, dan berhasil seperti Malaysia dengan Petronas. Kesalahan yang lampau bukan di UU Pertamina, melainkan dari manajemen korup rezim Orde Baru. Sementara UU Migas yang baru telah tiga kali diuji materi dan cacat secara substansi. Di antara kelemahannya adalah membuka celah inefisiensi dan penyimpangan karena dua hal.
Pertama, UU Migas telah merombak kelembagaan pelaksana KP dari BUMN (Pertamina) ke BHMN (BP Migas). Implikasinya, BP Migas tidak eligible menjalankan transaksi bisnis, termasuk menjual minyak dan gas bagian negara tanpa perantara pihak ketiga. Selain menimbulkan biaya brokerage, keberadaan pihak ketiga rawan terhadap conflict of interest dan perburuan rente seperti kasus yang menjerat Rudi. Jika sebelumnya migas bagian negara langsung bisa dialirkan ke kilang Pertamina untuk diolah dan diangkut ke pompa-pompa bensin, kini Pertamina harus membeli migas bagian negara melalui pihak ketiga.
Pola aneh, rumit, dan inefisien ini masih diteruskan SKK Migas karena lembaga ini sebenarnya anggur lama dalam botol baru. Watak inkonstitusional BP Migas seperti maksud putusan Mahkamah Konstitusi sama sekali tidak hilang meskipun wujud lembaga telah berganti menjadi SKK Migas.
Kedua, akibat perubahan bentuk kelembagaan ini adalah kendurnya kontrol negara dalam pengelolaan migas, termasuk dalam menghitung cost recovery. Selama 37 tahun Indonesia menerapkan PSC, cost recovery tidak pernah dipersoalkan karena ia adalah bagian inti kontrak bagi hasil. Namun, setelah terbitnya UU Migas, cost recovery menjadi persoalan karena jumlahnya membengkak di saat lifting terus merosot.
Cost recovery menjadi bermasalah seiring perubahan para pihak dalam kontrak, dari sebelumnya B2B (Pertamina dan KPS) menjadi G2B (BP Migas/ SKK Migas dan KKKS). Dalam pola lama, negara melalui Pertamina terlibat dalam kegiatan produksi sehingga bisa mengontrol dan memeriksa setiap sen biaya yang dikeluarkan dalam operasi produksi. Sekarang para pihaknya adalah BP Migas/SKK Migas yang tak terlibat dalam kegiatan produksi sehingga tak bisa secara langsung mengawasi operasi produksi, termasuk tidak memiliki benchmark untuk menghitung kewajaran biaya yang dikeluarkan dalam menghasilkan minyak mentah per barrel. BP Migas/SKK Migas hanya tahu besaran angkanya dalam rencana kerja dan anggaran yang diajukan KKKS kepada BP Migas/SKK Migas untuk disetujui.
Akhirnya cost recovery jadi keranjang sampah dari seluruh klaim-klaim biaya yang tidak beraturan, dari biaya minum wine, golf, hingga dana pengembangan masyarakat. Cost recovery menjadi titik paling rawan korupsi dan penyimpangan dalam tata kelola migas. Data yang dihimpun dari hasil audit BPK menemukan, selama 2000-2008, potensi kerugian negara akibat pembebanan cost recovery sektor migas yang tidak tepat mencapai Rp 345,996 triliun.
Terbitnya PP No 79/ 2010 tentang Biaya Operasi yang Dapat Dikembalikan (PP Cost Recovery) ternyata tak cukup ampuh mengeliminasi inefisiensi cost recovery. Audit BPK tahun 2009- 2012 terhadap uji petik 30 KKKS menemukan 164 kasus inefisiensi cost recovery, dengan nilai koreksi mencapai Rp 2,25 triliun. Nilai ini relatif kecil karena obyek uji petik pemeriksaan hanya 16 persen dari seluruh total kontraktor yang berjumlah 182 KKKS. Jika uji petiknya diperbesar, dipastikan nilai temuannya akan jauh lebih besar lagi.
Terungkapnya kasus Rudi harus menjadi pintu masuk bagi KPK agar lebih agresif lagi membabat korupsi di sektor migas, termasuk pertambangan umum. Sebab, di sektor yang menggunakan pola tax and royalty ini, ruang gelapnya lebih pekat seperti rimba belantara.
(M Kholid Syeirazi, Sekretaris Jenderal PP ISNU)
(Kompas cetak, 27 Agustus 2013)
Powered by Telkomsel BlackBerry®
Tidak ada komentar:
Posting Komentar