Cari Blog Ini

Bidvertiser

Selasa, 27 Agustus 2013

Daerah, Rahim Kepemimpinan (Robert Endi Jaweng)

Oleh: Robert Endi Jaweng 

Anies Baswedan, dalam artikel di Kompas, 6 Juli 2007, memetakan secara kategoris jalur-jalur sirkulasi kepemimpinan yang pernah terjadi di negeri ini: jalur pendidikan (intelektual), militer, organisasi massa (aktivis), dan pasar/dunia bisnis. Keempat jalur tersebut silih berganti "memasok" para pemimpin nasional dalam lintasan sejarah yang berlangsung lebih dari seabad belakangan.

Hari ini, kita patut menimbang satu sumber baru: jalur daerah. Hasil survei Litbang Kompas (29/7/2013) memperlihatkan sentimen positif publik perihal "rahim" daerah sebagai jalur kepemimpinan nasional. Sekitar 76 persen responden setuju agar pilpres membuka pintu bagi gubernur/bupati/wali kota yang sukses memimpin daerahnya. Sumber alternatif ini diyakini bisa menelurkan kandidat yang mampu bersaing dengan pemimpin dari empat jalur itu.

Pada banyak kesempatan, saya mencatat sejumlah figur mumpuni yang membuat yakin soal kepatutan daerah sebagai kawah candradimuka mencetak genre baru kepemimpinan di republik ini. Geliat menjanjikan jelas terlacak pada rekam jejak sejumlah kepala daerah hebat, bukan bupati biasa, para inovator publik, yang sebagian luput dari radar media nasional.

Mereka bekerja dengan hati, beralas karakter kepemimpinan kuat. Sebagian sukses menginjeksi nilai baru dan gagasan kemajuan dalam sektor publik, mengoperasikan keahlian teknokrasi pembangunan populis, memandu jalannya reformasi birokrasi dan layanan publik, mengapitalisasi keuangan yang terbatas sebagai instrumen fiskal secara efektif dan akuntabel. Meski dalam skala terbatas, pemimpin lokal yang sukses ini telah terlatih memimpin. Mereka adalah bukti nyata dari pemerintahan yang bekerja.

Sentralisme "cum" oligarki

Secara teoritik, sentimen positif itu sejalan dengan konsepsi ideal desentralisasi. Brian C Smith (1985), misalnya, secara tandas mematri salah satu tujuan desentralisasi: sebagai training ground bagi para pemimpin lokal sebelum naik kelas ke pentas nasional. Siapa pun yang menjadi presiden, anggota DPR atau menteri, mestinya figur terlatih pada skala tertentu; bukan ready-made politician. Jika terbukti berhasil di daerah, jendela peluang bagi sukses mengelola politik/pemerintahan pada level nasional terbuka. Toh, tata kelola suatu organisasi negara pada dasarnya berisi muatan lokal yang lekat.

Dalam konteks kepemimpinan ini, selain dimensi isu lokal sendiri terkait "replikasi" ke daerah-daerah lain yang belum memiliki pemimpin unggul dan transformasi kepemimpinan berbasis figur menjadi sistem terlembaga, mobilitas vertikal dari aras lokal ke nasional adalah agenda lain yang belum didesain sistematis. Dimensi isu vertikal ini lebih pelik masalahnya lantaran tidak saja terkait kemampuan desentralisasi melahirkan figur-figur mumpuni, tetapi juga soal keterbukaan sistem politik untuk "mengalirkan" mereka dari lokal ke nasional.

Menilik faktanya di negeri ini, jelas kita menghadapi kendala serius. Derajat desentralisasi pemerintahan tak selaras dengan demokratisasi politik. Karakter dan regulasi kepartaian ataupun mekanisme elektoral masih mengekalkan sentralisme politik. Jangankan naik kelas ke level nasional untuk maju dalam pemilihan lokal saja tampak begitu kuatnya intervensi elite pusat. Sebagian figur bagus memang dicalonkan atas pertimbangan rasional dan kalkulasi riil politik, tapi lebih banyak sebagai hasil transaksi di pasar gelap kekuasaan. Rakyat dikorbankan sejak pilkada lantaran dihadapkan pada pilihan terbatas nan buruk hingga lima tahun ketika mereka tak merasakan perbaikan kualitas hidup lantaran payahnya kepemimpinan lokal. Semua itu bukan bagian dari kepedulian partai, toh kepentingan mereka hanya sebatas urusan pencalonan dan sukses bertransaksi besar.

Celakanya, sentralisme itu mengerucut ke bentuk lebih padat dalam lingkaran terbatas-tertutup: oligarki! Sesuatu yang nyaris alamiah dalam praktik politik dan menjadi adagium dalam teori, sebagaimana penamaannya sebagai "hukum besi oligarki" oleh Robert Michels (1915). Kantong-kantong asal para elite adalah kerabat/dinasti dari pendiri dan pemimpin partai, juga lembaga-lembaga formal, seperti kabinet atau parlemen. Mereka jadi sumber perekrutan, setidaknya penentu gerak sirkulasi. Akses ke lingkaran ini bukan main sulitnya: entah melewati jalan panjang berupa ujian loyalitas dan pembuktian posisi tawar yang tinggi (kapasitas intelektual, penguasaan basis massa) ataupun menerabas jalan pintas dalam aneka rupa manuver dan transaksi.

Dalam struktur relasi kuasa demikian, ikhtiar mengusung para pemimpin lokal ke level nasional memang menempuh rute panjang. Karakter kepartaian dan regulasi pemilihan harus bisa diubah untuk mendorong sistem politik terbuka. Di sejumlah negara yang demokrasinya belum membasis dan terkonsolidasi, termasuk Indonesia, agenda reformasi kepartaian dan elektoral ini jelas bukan hanya soal teknokratik, melainkan politik lantaran inheren dalam struktur kekuasaan tadi. Maka, langkah afirmatif yang paling fisibel adalah mengenalkan mekanisme inovatif—yang bisa saja menabrak aturan yang memang sengaja direkayasa demi kepentingan elite mapan—dalam pemilihan.

Pertama, inovasi yang secara parsial kini diambil Partai Demokrat, atau Golkar pada pilpres sebelumnya, berupa pemilu pendahuluan (primary election). Langkah ini semestinya bukan hanya untuk capres, melainkan juga penyusunan caleg sehingga daftar calon benar-benar berisi figur yang sudah lulus saringan internal partai. Namun, lebih dari sekadar konvensi yang kriteria dan calon justru ditentukan panitia, lembaga survei, atau elite partai, pemilu pendahuluan adalah pasar terbuka yang bebas preferensi, apalagi intervensi. Proses penjajakan, pengusulan nominasi, dan keputusan calon definitif diserahkan sepenuhnya kepada suara konstituen partai, bahkan publik.

Kedua, rekognisi calon perseorangan/ independen. Klaim bahwa parpol adalah pilar demokrasi tak lalu berarti haramnya opsi nonpartai, terutama dalam struktur relasi kuasa kepartaian yang sentralistis- oligarkis. Rute alternatif, berupa jalur perseorangan, harus tetap disediakan sebagai bukti terbukanya sistem politik. Dalam dunia yang kian maju, narasi besar dan jalur tunggal tak patut terus dipertahankan. Basis-basis kepemimpinan dan sistem pengaderan bagi sektor publik sudah dilakukan di banyak ranah/institusi, sebagian bahkan berhasil membuktikan kemampuannya dalam politik lokal. Monolitisme jalur pemilihan lewat partai adalah sumbatan yang melawan arus zaman yang justru menuntut kerangka kepolitikan poliarkis.

Catatan akhir

Terang bahwa, jika Perancis memiliki Presiden Francois Hollande yang merupakan mantan Wali Kota Tulle, Korea Selatan memiliki Presiden Lee Myung-bak yang sebelumnya menjadi Wali Kota Seoul, atau Iran yang pernah dipimpin Mahmoud Ahmadinejad yang lama mengurus kota Teheran, kita memiliki sederet pemimpin lokal hebat. Ada Joko Widodo dari Solo dan kini di Jakarta, Herry Zudianto di Yogyakarta, Tri Rismaharini di Surabaya, Tinro La Tunrung di Enrekang, dan Yusuf Wally di Keerom (Papua).

Sebagian merupakan kader partai, tetapi sistem pemerintahan desentralisasilah yang membuat mereka mampu mengapitalisasi modal kepemimpinannya. Kalau saja sistem politik mau terbuka menyalurkan mereka ke jalur nasional, modal terlatih dan bukti keberhasilannya selama ini niscaya menyumbang berlipat ganda lagi bagi kemajuan negara ini.

Tantangannya bukan lagi pada diri mereka, melainkan lingkungan yang melingkupinya. Struktur relasi kuasa kepartaian sentralistik-oligarkis dan miskinnya inovasi mekanisme elektoral menjadi sumbatan besar. Mengurai titik pelik ini merupakan pekerjaan besar bangsa ini untuk mendapatkan calon pemimpin segar, otentik, dan bermutu. Jika tidak, mari kita hanya berpasrah atau bahkan berpuas diri dengan stok kedaluwarsa yang ada.

(Robert Endi, Jaweng Direktur Eksekutif KPPOD, Jakarta)

(Kompas cetak, 27 Agustus 2013)
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger