Seperti yang sudah-sudah, setiap perundingan perdamaian antara Israel dan Palestina digelar, selalu muncul pendapat bernada optimistis ataupun pesimistis. Sangat wajar muncul sikap dan pandangan seperti itu. Ini karena memang sudah berkali-kali perundingan digelar, sejak akhir perang 1967, tetapi lebih banyak kegagalannya ketimbang keberhasilannya, seperti Perundingan Camp David 1978 yang mengakhiri perang Israel dan Mesir.
Sementara perundingan perdamaian antara Israel dan Palestina yang bisa dikatakan berhasil—meski ditolak oleh Hamas dan kelompok-kelompok lain—adalah Perjanjian Oslo 1993. Perjanjian ini menjadi dasar pembentukan "Otoritas Pemerintahan Sendiri Sementara Palestina". Selain itu, kedua belah pihak juga sepakat untuk mengakhiri konfrontasi dan konflik serta saling mengakui "hak-hak politik dan keabsahan eksistensi mereka".
Setelah itu, nyaris tidak ada hasil dari setiap perundingan perdamaian di antara keduanya. Lalu, apa yang bisa diharapkan dari perundingan kali ini. Menteri Luar Negeri AS John Kerry sebagai "motor" dari perundingan yang diselenggarakan di Jerusalem sejak kemarin sadar akan hal itu. Karena itu, ia tidak mau mengulangi kesalahan, misalnya kesalahan perundingan tahun 2010 yang macet.
Misalnya, jangka waktu perundingan akan panjang, yakni sembilan bulan; perundingan tidak dilakukan para pemimpin tertinggi kedua belah pihak seperti sebelumnya karena jika menemui jalan buntu, tidak bisa dibawa ke tingkat yang lebih tinggi. Perundingan dilakukan oleh para pejabat tinggi: Menteri Kehakiman Israel Tzipi Livni dan perunding Palestina, Saeb Erekat. Penghentian pembangunan permukiman juga tidak menjadi prasyarat bagi pelaksanaan perundingan. Itulah sebabnya beberapa hari lalu Israel mengumumkan membangun permukiman baru di Jerusalem setelah pembebasan tahanan Palestina.
Terlepas dari semua itu, pokok perundingan kali ini tetaplah empat hal: status Jerusalem, perbatasan dan permukiman, pengungsi Palestina, serta keamanan. Keempat isu itu yang harus diselesaikan untuk tercapainya perdamaian di antara kedua belah pihak.
Untuk isu Jerusalem, misalnya, Palestina menginginkan Jerusalem timur sebagai ibu kota, tetapi Israel tidak mau membagi kota itu. Palestina juga menginginkan dipulihkannya garis perbatasan sesuai dengan kondisi seperti pecah perang 1967; Israel belum sepaham.
Banyak persoalan memang yang belum bisa diselesaikan. Namun, apa pun hasilnya nanti, usaha untuk mengupayakan perdamaian tetap harus dilakukan walau sebenarnya perundingan kali ini dilaksanakan ketika tingkat kepercayaan kedua belah pihak di titik paling rendah.
(Tajuk Rencana Kompas cetak, 15 Agustus 2013)
Powered by Telkomsel BlackBerry®
Tidak ada komentar:
Posting Komentar