Cari Blog Ini

Bidvertiser

Kamis, 15 Agustus 2013

Sepuluh Tahun MK (Tajuk Rencana Kompas)

Peringatan sepuluh tahun Mahkamah Konstitusi (18 Agustus 2003-18 Agustus 2013) tercederai dengan kontroversi pencalonan hakim konstitusi.
Pelantikan hakim konstitusi Patrialis Akbar diwarnai dengan kritik dan gugatan aktivis lembaga swadaya masyarakat. Keputusan presiden mengenai pengangkatan Patrialis digugat ke pengadilan tata usaha negara karena tahapan pencalonannya tidak sesuai dengan Pasal 19 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Untuk pertama kalinyalah dalam sepuluh tahun MK, pencalonan hakim konstitusi dipersoalkan.

Posisi MK begitu tinggi dalam sistem kenegaraan Indonesia. Bahkan, Prof Emeritus (alm) Satjipto Rahardjo di Kompas, 5 Januari 2009, menyebutkan, ludah sembilan hakim konstitusi itu ibarat "mengeluarkan api" (bahasa Jawa: idu geni). Artinya, sekali mereka memutuskan, dua ratus enam puluh juta penduduk Indonesia harus patuh. Diam dan tak ada ruang untuk melawan!

Membaca konstitusi tentu bukan hanya membaca teks undang-undang. Hakim konstitusi sebagai penjaga konstitusi harus mampu membaca konstitusi sebagai pesan moral (the moral reading of the constitution) bangsa ini. Karena agungnya posisi MK, hakim konstitusi haruslah seorang negarawan. Undang-undang melarang hakim konstitusi adalah politisi atau merangkap jabatan sebagai advokat ataupun pengusaha.

Tentunya tak ada yang salah pada sosok mantan Menteri Hukum dan HAM Patrialis Akbar yang telah menyatakan mundur sebagai politisi Partai Amanat Nasional. Yang bermasalah adalah tahapan pencalonannya. Kekeliruan dalam proses itu kian terang ketika membaca penjelasan Pasal 19 UU MK. UU MK yang ditandatangani Presiden Megawati Soekarnoputri pada 13 Agustus 2003 itu menyebutkan, "Berdasarkan ketentuan itu, calon hakim konstitusi dipublikasikan di media massa, baik cetak maupun elektronik, sehingga masyarakat mempunyai kesempatan untuk ikut memberikan masukan atas calon hakim yang bersangkutan". Penjelasan Pasal 19 UU MK itu membuat terang pengertian "transparan" dan "partisipatif".

DPR melaksanakan proses yang transparan dan partisipatif melalui uji kelayakan dan kepatutan. Pencalonan hakim konstitusi dari Mahkamah Agung sama tertutupnya. Presiden Yudhoyono pernah melaksanakan konvensi kenegaraan dengan membentuk Panitia Seleksi Hakim Konstitusi yang memilih Maria Farida Indrati, Achmad Sodiki, dan Abdul Mukthie Fadjar. Panitia Seleksi terdiri atas para tokoh, seperti Laica Marzuki, Franz Magnis-Suseno, Satjipto Rahardjo, Soetandyo Wignjosoebroto, dan Nono Anwar Makarim. Sangat disayangkan seleksi melalui panitia tak diteruskan dan digantikan dengan proses internal yang tertutup dengan dalih itu adalah hak prerogatif presiden.

Kita khawatir gugatan terhadap keppres itu bakal memengaruhi legitimasi MK. Sebagai negara hukum, kini biarlah hakim PTUN menguji keabsahan pencalonan hakim konstitusi itu.

(Tajuk Rencana Kompas cetak, 15 Agustus 2013)
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger