Cari Blog Ini

Bidvertiser

Senin, 26 Agustus 2013

Revisi UU Pemilu Presiden (Ramlan Surbakti)

Oleh: Ramlan Surbakti

Pasal 9 UU No 42/2008 menetapkan sekurang-kurangnya 20 persen perolehan kursi DPR atau minimal 25 persen perolehan suara secara nasional dari hasil pemilu legislatif sebagai persyaratan bagi satu partai politik atau gabungan partai politik untuk dapat mengajukan pasangan calon presiden dan wakil presiden.

Partai kecil menghendaki perubahan ketentuan tersebut sehingga menjamin peluang mengajukan pasangan calon presiden dan wakil presiden. Partai besar menghendaki ketentuan itu dipertahankan demi efektivitas pemerintahan presidensial.

Apakah ketentuan Pasal 9 itu terbukti mampu menciptakan pemerintahan presidensial yang efektif seperti yang dikemukakan partai besar? Apa kaitan antara ambang batas persentase kursi/ suara untuk dapat mengajukan pasangan calon presiden dan wakil presiden dengan efektivitas pemerintahan presidensial?

Pemilu nasional serentak
Berbeda dengan pemerintahan parlementer yang tidak mengenal pemisahan kekuasaan antara legislatif dan eksekutif, bentuk pemerintahan presidensial sangat mengedepankan pemisahan kekuasaan legislatif dari eksekutif. Kalau perdana menteri dan para menteri adalah juga anggota parlemen dalam pemerintahan parlementer, presiden dan menteri tak boleh merangkap jadi anggota DPR dalam pemerintahan presidensial.

Karena itu, dukungan mayoritas parlemen terhadap rencana kebijakan kabinet dalam pemerintahan parlementer relatif lebih terjamin, mengingat perdana menteri dan para anggota kabinet merupakan bagian dari mayoritas parlemen. Tak demikian halnya dengan pemerintahan presidensial. Dukungan mayoritas DPR terhadap rencana kebijakan presiden hal yang tidak pasti karena mayoritas anggota DPR belum tentu dari partai yang sama dengan presiden.

Uraian ini hendak mengemukakan bahwa efektivitas pemerintahan bergantung pada dukungan solid dari mayoritas anggota DPR. Efektivitas pemerintahan presidensial dipertanyakan karena dukungan mayoritas DPR kepada presiden dalam sistem partai pluralisme ekstrem amat sukar diciptakan.

Guna menjamin dukungan solid DPR kepada presiden, dibuatlah ketentuan ambang batas 20 persen kursi atau 25 persen suara bagi partai atau gabungan partai politik untuk dapat mengajukan pasangan calon. Dengan demikian, rencana kebijakan publik yang diajukan oleh presiden dan wakil presiden terpilih sekurang-kurangnya memiliki dukungan 20 persen anggota DPR.

Apakah pasal tentang ambang batas tersebut berhasil menciptakan pemerintahan presidensial yang efektif? Dukungan dari 20 persen, bahkan 26 persen anggota DPR dari Partai Demokrat, ternyata tidak cukup. Pasal ini ternyata tidak berhasil menciptakan pemerintahan presidensial yang efektif. Yang dicapai pasal ini ternyata hanya mengurangi jumlah pasangan calon presiden dan wakil presiden yang bersaing dalam pilpres.

Menyadari dukungan dari Partai Demokrat saja tidak akan cukup, Presiden Yudhoyono membentuk koalisi enam partai yang menguasai 426 kursi DPR. Akan tetapi, koalisi yang mendukung Kabinet Indonesia Bersatu Jilid II ternyata tak berhasil menciptakan pemerintahan presidensial yang efektif. Padahal, UUD 1945 telah menjamin kewenangan legislasi dan anggaran kepada presiden. Ketidakberhasilan ini tidak hanya karena model kepeminpinan politik yang diadopsi presiden yang kurang pas, juga karena format koalisi yang lebih bersifat transaksional.

Kalau ambang batas tentang pencalonan tersebut gagal mewujudkan "efektivitas pemerintahan presidensial", UU No 42/2008 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden memang perlu direvisi. Akan tetapi, revisi yang harus dilakukan mencakup dimensi yang lebih luas. Revisi UU Pilpres hendaknya diarahkan untuk menciptakan pemerintahan presidensial yang didukung koalisi dua atau tiga partai politik yang tidak hanya menguasai lebih dari 50 persen kursi DPR, tetapi juga solid di bawah kepemimpinan politik yang transformatif dari presiden terpilih. Desain kelembagaan yang diperlukan adalah pemilu presiden dan wakil presiden diselenggarakan serentak dengan pemilu anggota DPR dan DPD.

Setidaknya terdapat empat konsekuensi politik yang akan timbul akibat desain kelembagaan berupa pemilu nasional serentak ini. Pertama, partai politik memiliki waktu yang memadai setidak-tidaknya 18 bulan untuk menjajaki dan mempersiapkan koalisi dua atau tiga partai politik yang solid tidak berdasarkan transaksi jabatan, tetapi berdasarkan kedekatan "visi, misi, serta program transformasi bangsa dan negara". Juga kesepakatan mengenai pasangan calon presiden dan wakil presiden yang dipandang mampu menyelenggarakan program transformasi bangsa dan negara.

Kedua, materi kampanye pasangan calon presiden dan wakil presiden sama dengan yang disampaikan oleh parpol peserta pemilu legislatif yang menjadi anggota koalisi, yaitu visi, misi dan program transformasi bangsa-negara yang disepakati bersama oleh parpol anggota koalisi tersebut. Kesamaan ini akan sangat relevan baik bagi koalisi yang akan memerintah karena memenangi pemilu maupun bagi koalisi yang akan menjadi oposisi karena kalah dalam pemilu.

Ketiga, koalisi dua atau tiga parpol yang memenangi pemilu presiden dan wakil presiden juga akan memenangi mayoritas kursi DPR. Hal ini terjadi karena kecenderungan pemilih untuk memilih anggota DPR yang berasal dari parpol yang sama dengan parpol yang mencalonkan presiden. Siapa yang dipilih menjadi presiden menentukan siapa yang akan dipilih jadi anggota DPR. Fenomena ini sudah teruji pada berbagai penelitian di sejumlah negara, sering disebut sebagai coattail effect.

Keempat, desain kelembagaan ini juga secara "lebih demokratis" akan mengurangi jumlah parpol yang memiliki kursi di DPR. Suara pemilih akan cenderung mengarah pada dua koalisi partai. Partai yang kurang menarik perhatian pemilih tidak akan berhasil mencapai ambang batas masuk DPR.

Singkat kata, desain kelembagaan berupa pemilu nasional serentak ini juga merupakan bagian dari desain membangun sistem kepartaian pluralisme moderat. Sistem kepartaian inilah yang disebut para politisi sebagai "sistem multi-partai sederhana".

Desain kelembagaan
Apakah ambang batas sesuai Pasal 9 UU No 8/2008 di atas masih diperlukan dalam desain kelembagaan yang ditawarkan tersebut? Parpol peserta pemilu yang telah berhasil mencapai ambang batas masuk DPR secara otomatis berhak mengajukan pasangan calon presiden dan wakil presiden. Karena kecenderungan politisi Indonesia yang berambisi jadi presiden tanpa pertimbangan saksama dan persiapan yang memadai, atau tidak pernah "kapok" jadi calon walaupun sudah lebih dari sekali ditolak rakyat melalui pemilu, apakah diperlukan desain kelembagaan untuk memaksa parpol berkoalisi dengan partai lain dalam berpartisipasi dalam pemilu nasional?

Tiga jawaban hendak diberikan atas pertanyaan ini. Pertama, desain kelembagaan yang diperlukan bukan ambang batas kursi atau suara untuk dapat mengajukan calon presiden dan wakil presiden, melainkan keharusan setiap partai anggota koalisi mendapatkan persetujuan anggota partai pada akar rumput, baik terhadap "visi, misi, dan program transformasi bangsa-negara" maupun "pasangan bakal calon presiden dan wakil presiden" yang disepakati bersama. Para pemimpin partai anggota koalisi dan pasangan bakal calon presiden/wakil presiden perlu berdialog dengan para anggota partai pada akar rumput untuk mendapatkan kepercayaan tersebut.

Kedua, pentingnya pendidikan politik bagi pemilih dalam menentukan pilihan pada pemilu presiden/wakil presiden. Pendidikan politik dimaksud adalah apa saja yang perlu dipertimbangkan pemilih dan mengapa perlu dipertimbangkan dalam menentukan siapa yang akan dipilih. Selain faktor integritas pribadi calon, yang perlu dipertimbangkan adalah soal kemampuan mengambil keputusan secara cepat dan tepat serta kepemimpinan politik untuk menyelesaikan permasalahan bangsa- negara.

Ketiga, desain kelembagaan berupa pasal yang berisi ketentuan yang harus ditaati perlu dilengkapi pendekatan lain berupa "pasar" dalam arti pemilihlah yang akan menentukan pemenang dari suatu persaingan. Dalam mekanisme pasar, pemilih cenderung memilih calon yang dinilai tidak hanya paling menguntungkan, juga paling baik.

Kalau efektivitas pemerintahan presidensial yang jadi tujuan revisi UU Pilpres, diperlukan waktu yang cukup: tidak hanya untuk berdialog menyamakan pemahaman akan efektivitas pemerintahan presidensial, tetapi juga untuk menyusun UU Pemilu Presiden yang baru.

Ramlan Surbakti
Guru Besar Perbandingan Politik pada FISIP Unair

(Kompas cetak, 26 Agustus 2013)
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger