Pekan lalu, publik dikejutkan dengan dibebaskannya Wali Kota Medan Rahudman Harahap atas dakwaan korupsi. Keterkejutan masyarakat belum sembuh, kini majelis hakim agung membebaskan terpidana korupsi mantan Direktur Utama PT Bahana Pembinaan Usaha Indonesia Sudjiono Timan.
Sudjiono awalnya dituntut Jaksa Budiman Rahardjo delapan tahun penjara. Namun, majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang diketuai I Gede Putra Djadnya melepaskan dia dari segala tuntutan hukum pada 25 November 2002. Kejaksaan kasasi. Majelis kasasi yang diketuai Bagir Manan dan beranggotakan Parman Suparman, Arbijoto, Iskandar Kamil, dan Artidjo Alkostar menghukum Sudjiono 15 tahun penjara. Sudjiono terbukti melakukan korupsi yang merugikan negara Rp 2 triliun dan membayar uang pengganti Rp 369 miliar. Sayang, kejaksaan kalah cepat saat mengeksekusi Sudjiono. Saat akan dieksekusi Sudjiono sudah melarikan diri. Padahal, imigrasi telah mencekal Sudjiono dan mencabut paspornya.
Tak terdengar ceritanya, tiba-tiba publik dikejutkan oleh peninjauan kembali (PK) Mahkamah Agung yang membebaskan kembali Sudjiono. Putusan PK MA yang diketuai Hakim Agung Suhadi itu mencurigakan karena ada Surat Edaran MA Nomor 1 Tahun 2012 yang meminta pengadilan menolak upaya hukum dari terpidana yang melarikan diri. Dengan surat edaran itu, artinya secara formal permohonan PK Sudjiono harus ditolak. Pertanyaannya, mengapa majelis PK mengabulkan PK Sudjiono yang berada dalam status buron. Siapa yang menandatangani PK itu?
Vonis PK MA adalah tragedi dalam pemberantasan korupsi. Langkah Komisi Yudisial menelusuri putusan bebas perlu didukung. Djoko Sarwoko, majelis yang mengundurkan diri saat menangani kasus itu, sudah mencium ada upaya membebaskan Sudjiono. Vonis PK MA harus dihormati, tetapi publik berhak mempersoalkannya karena putusan PK MA berlawanan secara formal dan menyinggung rasa keadilan. Begitu banyak terdakwa korupsi yang kabur ke luar negeri guna menghindari hukum. Setelah mengambil uang negara, mereka kabur ke luar negeri. Dalam pelarian, mereka dibebaskan hakim.
Ringannya putusan hakim dalam kasus korupsi, bahkan banyak yang dibebaskan, membuat bangsa ini terus terperangkap dalam kubangan korupsi. Percuma saja kejaksaan, kepolisian, KPK menangkapi penilep uang negara kalau sang hakim membebaskannya.
Kesepahaman bersama antara eksekutif, yudikatif, dan legislatif mengenai bahaya korupsi perlu dibangun. Tidak bermaksud mencampuri kekuasaan kehakiman, tetapi untuk membangun kesepahaman bersama agar pemberantasan korupsi tak selalu bertepuk sebelah tangan. Ada yang menangkap, ada yang membebaskan. Kalau itu terus terjadi, hanya akan membuat rakyat frustrasi!
(Tajuk Rencana Kompas, 26 Agustus 2013)
Powered by Telkomsel BlackBerry®
Tidak ada komentar:
Posting Komentar