Wakil Ketua Komisi Yudisial itu mengatakan, jumlah uang yang ditawarkan anggota Komisi Hukum DPR sebesar Rp 1,4 miliar. Setiap komisioner Komisi Yudisial akan mendapat Rp 200 juta untuk meloloskan seorang calon hakim agung yang sedang mengikuti uji kelayakan di DPR. Imam mengaku kenal dengan anggota Komisi Hukum DPR itu karena pernah menjadi anggota Komisi Hukum DPR. Syukur, tawaran itu ditolak dan si calon hakim agung itu dicoret!
Kita mengapresiasi sikap Komisi Yudisial yang menolak tawaran Komisi Hukum DPR tersebut. Imam belum mau mengungkap siapa koleganya di Komisi Hukum DPR yang menawarinya uang untuk meloloskan calon hakim agung tertentu.
Posisi hakim agung begitu tinggi. Dia adalah pemegang kekuasaan yudikatif tertinggi dalam sistem peradilan di Indonesia. Dia adalah "wakil Tuhan" di Bumi. Undang-undang memberi kewenangan kepada hakim termasuk untuk mencabut nyawa manusia. Hakim punya kewenangan menjatuhkan hukuman mati kepada seorang terdakwa yang memang pantas dijatuhi hukuman mati.
Begitu tingginya kewenangan hakim agung, menjadi terasa ironis menyaksikan seleksi hakim agung layaknya seleksi pegawai biasa. Para pemburu kerja memburu lowongan untuk posisi "wakil Tuhan". Akibatnya, calo untuk mengegolkan "wakil Tuhan" itu berkeliaran, termasuk calo dari lembaga "Yang Terhormat".
Seperti ditulis dalam kolom ini kemarin, kita memang tak bisa terlalu berharap pada proses seleksi hakim agung yang dilakukan Komisi Yudisial dan Komisi Hukum DPR. Pengakuan Imam Anshori Saleh itu makin menipiskan harapan akan kehadiran lembaga Mahkamah Agung yang bisa menangkap rasa keadilan publik. Ketika proses seleksi diawali dengan proses transaksional, hasilnya pun akan sangat transaksional. Pertimbangan ekonomi akan menjadi yang utama daripada pertimbangan hukum dan keadilan.
Adanya anggota Komisi Hukum DPR yang menjadi calo untuk posisi hakim agung sangat disayangkan. Langkah itu bertentangan dengan posisi mereka sebagai wakil rakyat. Menawarkan uang kepada pihak lain untuk kepentingan apa pun bertentangan dengan undang-undang dan sumpah jabatan anggota DPR. Meski belum mau mengungkap nama, kita mendorong Imam menyampaikan masalah ini kepada Badan Kehormatan DPR. Apa pun langkah anggota DPR menawarkan uang adalah pelanggaran etika.
Dengan membawa masalah itu ke Badan Kehormatan DPR, masalahnya pun bisa makin fokus. Apakah itu perilaku individu atau kelompok politisi untuk mengegolkan calon hakim tertentu dan untuk maksud apa calon hakim itu didukung. Pengakuan Imam harus jadi pintu masuk membenahi sistem seleksi pejabat publik di DPR.
Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000002202830
Powered by Telkomsel BlackBerry®
Tidak ada komentar:
Posting Komentar