Cari Blog Ini

Bidvertiser

Jumat, 27 September 2013

Evaluasi Program MIFEE (Maria SW Sumardjono)

Oleh: Maria SW Sumardjono

Setelah diresmikan tanggal 11 Agustus 2010, program Merauke Integrated Food and Energy Estate tidak banyak terdengar gaungnya.
Cukup mengejutkan, ketika sejumlah LSM nasional ataupun internasional menyurati PBB agar menghentikan Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE) karena dianggap mengancam kelangsungan hidup suku Malind (Kompas, 26/7). Program yang diproyeksikan meliputi 1,2 juta hektar lahan untuk memproduksi bahan pangan dan bioenergi itu pasti berdampak luas dan jangka waktu panjang. Pertanyaannya, apakah program tersebut dapat menjamin keadilan dalam alokasi sumber daya alam sesuai dengan semangat konstitusi? Salah satu tujuan MIFEE adalah memperkuat cadangan pangan dan bioenergi nasional untuk memantapkan dan melestarikan ketahanan pangan nasional serta memasuki pasar bahan pangan dunia melalui ekspor produk pangan.

Untuk mempercepat pelaksanaan program MIFEE diterbitkan Inpres Nomor 5 Tahun 2008 tentang Fokus Program Ekonomi Tahun 2008-2009, khususnya untuk mempersiapkan program MIFEE dan Inpres No 1/2010 tentang Percepatan Pelaksanaan Prioritas Pembangunan Nasional Tahun 2010, yang antara lain mengamanatkan penyusunan Grand Design Food and Energy Estate di Merauke. Dari sekitar 46 perusahaan yang berminat berinvestasi, sampai saat ini sekitar 11 perusahaan mulai beraktivitas. Siapa yang diuntungkan dan dirugikan dari program ini? Perusahaan jelas berpeluang diuntungkan dalam jangka panjang; sebaliknya masyarakat hukum adat (MHA), terutama suku Malind sebagai pemilik tanah ulayat, mulai merasakan dampak negatifnya.

Secara fisik, pada wilayah MHA yang sudah dibuka, hutan adat untuk bahan obat, kayu bakar, kayu perahu dan bangunan, rawa sagu, serta binatang-binatang buruan sebagai sumber kehidupan masyarakat semua ikut (di)lenyap(kan). Hilangnya tempat-tempat keramat sesuai kepercayaan masyarakat dan tanaman-tanaman yang berharga untuk ritual adat jelas merupakan ancaman terhadap kepercayaan, identitas budaya, dan simbol leluhur MHA. Permasalahannya, apakah kebijakan izin lokasi yang tak membolehkan perusahaan menghilangkan tempat keramat dan sumber kehidupan MHA bisa diterjemahkan di lapangan?

Dampak sosial-ekonomi benturan antara ekonomi berbasis pasar dan ekonomi subsisten tampak dalam beberapa hal. Pertama, hilangnya sumber kehidupan MHA, di samping tingkat pendidikan yang rendah dan tiadanya keterampilan mengakibatkan MHA tersingkir dari sektor pertanian berbasis pasar. Kedua, terbatasnya tenaga kerja dari MHA mengharuskan perusahaan mendatangkan tenaga kerja dari luar Papua, yang membuat MHA kian tersingkir dari akses terhadap sumber ekonomi. Ketiga, peluang ekonomi yang besar untuk memperoleh jabatan dalam perusahaan ataupun pemerintahan lebih mudah diraih orang luar Papua yang memiliki akses ekonomi dan akses politik.

Dampak lingkungan beroperasinya perusahaan dapat dilihat dari pencemaran air yang mengakibatkan lenyapnya binatang-binatang air sebagai sumber kehidupan, juga menimbulkan beragam penyakit kulit, gangguan pencernaan, dan gangguan kesehatan lain. Mencari air bersih mengharuskan jarak tempuh yang sangat jauh, yang berpotensi mengancam keamanan dan kenyamanan hidup MHA.

Keberpihakan
Desain program MIFEE cenderung memihak investor yang butuh kepastian hukum dan kepastian berusaha. Perhatian yang seimbang belum diberikan kepada MHA sebagai pemilik tanah yang diperlukan investor. Ada sekitar 18 peraturan perundang-undangan yang menjadi landasan hukum program MIFEE, tetapi tak satu pun dimaksudkan untuk memberikan perlindungan dan pemenuhan hak asasi MHA. Setidaknya perlu dua peraturan untuk melindungi MHA ketika berhadapan dengan kepentingan investor agar jaminan keadilan dapat diberikan bagi kedua belah pihak. Pertama, terkait dengan kesepakatan. Selama ini, MHA mengeluh karena dalam negosiasi tak pernah disampaikan informasi komprehensif dan obyektif oleh perusahaan terkait kegiatan dan dampak positif maupun negatifnya.

Rencana investasi sama sekali tak melibatkan MHA; negosiasi juga tak melibatkan MHA secara keseluruhan. Aturan main yang harus ditempuh perusahaan terkait sejumlah perizinan juga tak disampaikan ke masyarakat. Tidak jarang kesepakatan dihasilkan melalui tekanan, tipu daya, atau bujuk rayu. Penandatanganan "perjanjian" dilakukan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya (satu hari), disertai upacara adat; isi perjanjian tidak dipahami MHA, dan salinannya tidak selalu diserahkan kepada MHA.

Kedua, jika dua pihak dengan posisi tawar jauh berbeda berhadapan, hak dan kewajiban setiap pihak akan cenderung tak seimbang. Hal ini, antara lain, tampak dalam penentuan ganti kerugian/imbalan yang diterima MHA. Contoh: untuk tanah MHA 40.000 hektar yang diserahkan kepada perusahaan selama 25 tahun, diberikan "tali asih" Rp 6 miliar. Jika dihitung, tanah MHA dihargai Rp 6.000 per hektar per tahun! Contoh lain, untuk per meter kubik kayu, dihargai Rp 12.500 oleh perusahaan. Padahal, jika masyarakat menjual kayu yang sudah dibersihkan kepada pembeli kayu yang datang ke kampung mereka, masyarakat mendapat Rp 1 juta-Rp 1,5 juta per meter kubik kayu.

Dampak negatif ini mengindikasikan kekurangsiapan pemerintah menyusun peraturan komprehensif terkait: (1) tata cara melakukan negosiasi dengan MHA melalui free, prior and informed consent (FPIC) sesuai dengan aturan main dalam sejumlah konvensi internasional serta (2) pedoman penetapan ganti kerugian/imbalan untuk tanah ulayat yang dimanfaatkan perusahaan. Ganti kerugian yang hanya didasarkan nilai ekonomis tanah tak dapat diterapkan dalam kasus tanah ulayat.

MHA memberikan nilai sosial-budaya dan magis-religius secara khusus, selain nilai ekonomis tanahnya. Jika dikehendaki, pedoman FPIC dapat dikembangkan berdasarkan konvensi internasional dan pedoman-pedoman yang sudah ada. Dengan FPIC, MHA dapat memberikan persetujuan, mengusulkan perubahan, atau menolak, berdasarkan informasi yang disampaikan dalam tahap awal, yang menjelaskan secara komprehensif kegiatan yang akan dilakukan di atas tanahnya, meliputi dampak positif ataupun negatif yang mungkin timbul. Penentuan besarnya ganti kerugian tanah ulayat juga dapat merujuk pada pengalaman-pengalaman negara-negara lain.

Meski peraturan terkait FPIC dan penetapan ganti rugi telah disiapkan, pemanfaatan tanah ulayat harus dilandasi pemahaman yang benar terkait subyek hak ulayat sesuai struktur kemasyarakatan MHA bersangkutan dan kepastian hukum terkait wilayah adatnya untuk meminimalkan persoalan yang mungkin timbul.

Perlu ketegasan
Pelaksanaan MIFEE perlu dievaluasi. Hingga kini, dari enam tujuan MIFEE, belum satu pun menunjukkan arah ke sana, bahkan cenderung berlawanan arah, antara lain terkait kesejahteraan masyarakat Merauke, percepatan pemerataan pembangunan, dan penciptaan lapangan kerja. Sebelum peraturan perundang-undangan dan kebijakan terkait hak MHA dibentuk, seyogianya program MIFEE dihentikan sementara waktu. Terhadap perusahaan yang telah beroperasi perlu evaluasi terkait semua perizinan yang telah terbit disertai sanksi tegas terhadap pelanggarannya. Koordinasi, supervisi, dan evaluasi program MIFEE merupakan keniscayaan jika pemanfaatan SDA dimaksudkan untuk tercapainya kesejahteraan, khususnya bagi masyarakat Merauke.

(Maria SW Sumardjono, Guru Besar Hukum Agraria FH UGM)

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000002297859
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger