Cari Blog Ini

Bidvertiser

Selasa, 03 September 2013

G-20 dan Gejolak Valas (Tajuk Rencana Kompas)

Perkembangan ekonomi negara berkembang yang memasuki babak berbahaya baru beberapa bulan terakhir menjadi agenda utama KTT G-20, September ini.
Gejolak nilai tukar dan perekonomian negara berkembang yang dipicu kepanikan investor (panic selling) memunculkan kekhawatiran ini akan menuntun ke krisis finansial baru seperti 1997/1998. Ditempuhnya sejumlah langkah darurat untuk menghentikan terjun bebasnya nilai tukar dan indeks saham/obligasi di India, Brasil, Turki, dan Indonesia menunjukkan krisis kali ini sangat serius.

Nilai tukar keempat negara sejak awal tahun sudah anjlok 15 persen, 20 persen, 10 persen, dan 8 persen. Potensi gagal bayar mengintai sejumlah perekonomian. India bahkan mulai menjajaki dana talangan IMF. Negara ini bukan hanya memiliki defisit neraca transaksi berjalan (NTB) masif, melainkan juga utang pemerintah besar.

Proyeksi pertumbuhan negara berkembang dikoreksi tajam ke bawah. China di bawah 7,5 persen, India 5 persen, dan Indonesia 5,5 persen. Negara berkembang dihadapkan pada kombinasi berbahaya jatuhnya nilai tukar, kontraksi pertumbuhan, membengkaknya defisit NTB, serta fiskal dan tingginya inflasi. Cadangan devisa tergerus.

Rencana The Fed mengurangi stimulus mengakibatkan eksodus modal jangka pendek skala masif dari negara berkembang. Tiga bulan terakhir, pelarian modal dari pasar saham dan obligasi 46,5 miliar dollar AS. MSCI Emerging Market Index anjlok 10 persen lebih. Terpuruknya emerging markets saat ekonomi negara maju belum pulih dikhawatirkan kian mengancam pemulihan global.

Memang tak semua ekonom, termasuk peraih Nobel Paul Krugman, sepakat krisis nilai tukar negara berkembang yang dipicu rencana pengurangan stimulus di AS akan berkembang jadi krisis skala penuh, seperti 1997/1998. Konsensus yang ada, kondisi terburuk belum lewat, tetapi negara berkembang diyakini akan mampu melewatinya.

Krisis keuangan negara berkembang sendiri tak berdiri sendiri. Krisis ini antara lain juga akibat tak kunjung pulihnya ekonomi negara maju, seperti AS, Eropa, dan Jepang. Secara umum, perekonomian global justru kian terpuruk dan terus melemah lima tahun terakhir. Langkah negara maju menggerojok dana bail out ke lembaga keuangan belum berdampak signifikan ke pengangguran.

Tanpa ditempuhnya langkah konkret bersama secara global, perekonomian dunia bisa memasuki fase lebih berbahaya. Sudah sepantasnya sebagai kelompok perekonomian terbesar, G-20 mengambil prakarsa di depan. BRIC telah sepakat memperkuat rencana pengadaan cadangan devisa untuk kebutuhan darurat anggota.

IMF—untuk menenangkan pasar—juga menyatakan siap turun tangan jika diminta dan diperlukan. Negara- negara maju juga harus didesak kerja lebih keras dan ambil langkah lebih konkret untuk bangkitkan ekonominya.

(Kompas cetak, 3 September 2013)
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger