Cari Blog Ini

Bidvertiser

Senin, 30 September 2013

Hak Asasi Satwa (USMAN HAMID)

Oleh: USMAN HAMID

Lapangan Kompi Senapan-C Yonif 521/DY, Tuban, Jawa Timur, dijadikan area sirkus keliling lumba-lumba sejak 13 September sampai 14 Oktober 2013. Apa yang salah?
Sebulan lalu Kementerian Kehutanan menyurati Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Jatim, Jabar, Jateng hingga DI Yogyakarta untuk menghentikan sirkus lumba- lumba keliling dan menarik satwa itu ke asalnya. "Sirkus lumba-lumba adalah praktik ilegal," kata Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan di sebuah seminar, Februari 2013. Zulkifli berjanji berdiri paling depan untuk menghentikan sirkus keliling.

UU No 5/1990 tentang Konservasi Alam Hayati dan Ekosistemnya melarang "menangkap, melukai, membunuh, menyimpan, memiliki, memelihara, mengangkut, dan memperniagakan satwa yang dilindungi dalam keadaan hidup atau dalam keadaan mati" (Pasal 20 Ayat 2). Pengecualian hanya untuk penelitian, ilmu pengetahuan, dan atau penyelamatan (Pasal 22).

Eksploitasi satwa

Setahun terakhir, pencinta satwa menggalang tekanan publik melalui petisi change.org/StopSirkusLumba, mendesak Hero Group, Lottemart, Carrefour, dan Coca-Cola tak mensponsori pentas sirkus, termasuk meminjamkan areal parkir. Tuntutan dipenuhi. Sirkus keliling berpindah tempat. Mereka menggunakan alun-alun kota dengan izin BKSDA setempat. BKSDA lalu menuai protes keras dari pencinta satwa lokal sehingga Dirjen Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (PHKA) pun menyurati BKSDA.

Setelah izin pentas di supermarket dan izin BKSDA dilarang, mereka memakai lapangan militer. Apakah otoritas militer setempat tahu larangan itu?

Di negeri ini, selalu ada cara untuk mengecualikan larangan. Masalahnya lebih serius dari sekadar larangan. Ini adalah eksploitasi satwa berkedok sirkus!

Lumba-lumba adalah mamalia cerdas, dapat mengenali simbol dan berinteraksi dengan manusia. Banyak kisah lumba-lumba menyelamatkan manusia yang tenggelam di lautan.

Tapi demi sirkus, lumba-lumba ditangkap dari habitat, dirampas haknya, lalu ditaruh kolam, ibarat aktivis yang dihilangkan dari habitatnya. Lumba-lumba diangkut keliling tanpa air cukup, diminta lompati api atau bermain bola dengan imbalan makanan. Sesuatu yang tak dilakukan alamiah di habitatnya.

Gajah, orangutan, dan harimau kerap dipentaskan sirkus. Ibarat anak-anak di bawah umur, terpaksa jadi pekerja migran seperti TKI Wilfrida yang dituntut mati di Malaysia. Ibarat buruh pabrik panci, dipaksa bekerja 12 jam/hari dengan target 200 panci. Jika gagal, disiksa.

Satwa ini mengalami perbudakan seperti manusia. Dianggap barang, dipaksa melakukan fungsi-fungsi terbatas binatang, makan, minum, dan menghasilkan "uang" bagi pemiliknya. Mereka tak dianggap makhluk berjiwa, berkeluarga, dan berkomunitas seperti manusia.

Di balik sirkus, ada perdagangan lumba-lumba dan satwa langka seperti gajah, harimau, orangutan, dan hiu yang menghitung ajal. Populasinya menurun. Nyaris punah. Dilindungi hukum negara, tapi diburu, diperdagangkan, dikuliti, dan dibunuh. Terdengarkah negara menghukum pelakunya?

Yang terbaru, harimau sumatera dan singa afrika di Kebun Binatang Taman Rimba Jambi mati diracun. Entah adakah yang "memesan" kulit atau bagian tubuh lainnya, polisi sedang mengusut. Dari Kebun Binatang Surabaya (KBS), jerapah tewas akibat plastik makanan. Dari KBS pula, foto harimau kurus beredar di jejaring sosial. Saat Wali Kota Surabaya membekukan manajemen KBS, kuda nil dipindah paksa sehingga mengalami luka tusukan di kepala. Itu di kebun binatang.

Di laut, paus diburu. Sirip hiu diambil lalu dilempar ke perairan dalam kondisi hidup/mati. Di hutan, harimau, orangutan, dan gajah diburu. Di Kalimantan, orangutan diburu karena dinilai merusak kebun sawit. Padahal masalahnya adalah ekspansi perkebunan sawit yang berakibat turunnya populasi harimau.

Mahasiswa Aceh, Aulia Ferizal, memetisi Menhut atas kematian mengenaskan gajah aceh bernama Papagenk. Melalui petisi daring change.org/papagenk, Aulia mendesak pemerintah untuk menangkap pelaku, termasuk politisi yang "memesan" gading gajah malang tersebut.

Yang parah mungkin harimau. Karena dipercaya sebagai makhluk pemberi derajat tinggi manusia, semua bagian tubuhnya diburu. Bagian tubuhnya dijadikan "obat" kejantanan sampai penghias ruang tamu para "pembesar".

Perspektif

Akhirnya, ada pelajaran penting yang saya ingat dari Munir. Pendiri Kontras yang hidupnya tamat diracun rezim masa reformasi itu pernah berang oleh hal yang tampak "sepele": suatu pagi air akuarium ikan arwana di kantor Kontras lupa dibersihkan. Akuarium sudah seperti bejana air teh yang keruh.

Pada hari itu, petugas yang membersihkannya absen. Munir panik. Dia cemas ikan itu mati. Tapi ada yang membuat dia lebih galau. Bagi Munir, absennya inisiatif petugas lain untuk menjernihkan air akuarium itu justru membuatnya jeri. Bagi dia, siapa pun harus sensitif melihat makhluk yang terancam hidupnya.

Ingatan soal sensitivitas Munir itu berkelebat kembali, tatkala saya resah atas fenomena eksploitasi binatang di negeri ini. Lebih menyedihkan lagi, sedikit sekali perhatian negara akan ancaman punahnya satwa-satwa langka tersebut.

Saya sadar hak asasi manusia masih suram. Barangkali usaha menyelamatkan satwa langka seperti "harimau" itu adalah bagian simbolik menyelamatkan gagasan dan tindakan ideal Munir, atau aktivis-aktivis semasanya, yang dulu mencakar-cakar rezim diktator, tetapi kini tergerus oleh pragmatisme zaman.

(Usman Hamid, Penggagas Public Virtue dan Change.org, Indonesia)

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000002279798
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger