Keamburadulan Indonesia terpampang jelas dari keamburadulan kondisi lalu lintas. Mulai dari anak di bawah 17 atau 16 tahun yang belum berhak membawa mobil atau motor, jalan damai yang identik dengan ada uang perkara beres, proses pengasuhan anak yang cenderung membiarkan, hingga kemudahan proses pemberian SIM jatuh ke tangan yang belum berhak.
Meminjam istilah Ignas Kleden (1986), keamburadulan lalu lintas merupakan potret atau parameter masyarakat pemakainya. Pola sosial budaya muncul dalam interaksi arena transportasi dan komunikasi. Pola sosial budaya terlihat dalam taat tidaknya melaksanakan pranata sosial sebagai kesepakatan bersama. Konkretnya, jalan raya sebagai jalan umum memunculkan perilaku umum masyarakatnya.
Akan tetapi, norma di atas berkebalikan dengan keadaan di lapangan. Berlalu lintas identik dengan adu gesit dan adu nekat menghindari kemacetan. Anonimitas jalan raya menciptakan sikap mau menang sendiri. Gaya berangasan tampil berikut naluri-naluri binatang lainnya. Ditambah sikap permisif umum masyarakat, suburlah hukum rimba jalan raya.
Berlakunya hukum rimba jalan raya itu sebab sekaligus akibat. Ketidakpastian penegakan hukum, yang kuat merasa berhak menang—entah karena lebih kuasa, entah lebih punya duit untuk memenangi perkara—membuat semua serba anomali. Penyimpangan dari yang normal seolah-olah menjadi biasa.
Ketidakpastian hukum beranak pinak. Tidak saja keahlian "menggoreng" pasal-pasal hukum demi keringanan hukuman si terdakwa yang punya kuat-kuasa atau eksekusi pelaksanaan vonis yang bisa ditawar dan dimodifikasi, tetapi juga perilaku menyimpang jual-beli perkara. Praktik ini tidak hanya menyangkut persoalan-persoalan besar, tetapi juga sampai ke soal-soal kecil-sederhana.
Turunannya antara lain data jumlah kecelakaan lalu lintas akibat pengendara tidak mematuhi aturan lalu lintas diabaikan. Tampilan lebih dari separuh pelakunya tidak memiliki SIM dan hampir 20 persen di bawah usia 16 tahun tidak bicara apa-apa.
Mengubah perilaku buruk masyarakat kita mulai dari jalan raya. Dalam kasus disiplin berlalu lintas, penegakan hukum dimulai dari upaya mencegah, termasuk penegakan hukum berasas keadilan dan bukan hanya prosedural.
Dalam kasus banyaknya SIM di tangan anak-anak di bawah umur, penanganan perlu kerja sama sekolah, orangtua, dan penegak hukum. Sekecil apa pun pelanggaran berbahaya bagi orang lain, bukan hanya diri sendiri dan keluarga. Perubahan perilaku buruk masyarakat dimulai dari penegakan ketertiban berlalu lintas.
Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000002145628
Powered by Telkomsel BlackBerry®
Tidak ada komentar:
Posting Komentar