Kalangan pengamat mengingatkan, aksi militer ke Suriah terlalu berisiko, bukan hanya bagi perekonomian AS, melainkan juga bagi politik dan perekonomian global. Perekonomian dunia yang belum sepenuhnya pulih bisa terseret dalam resesi. Dampak langsung, antara lain, ke harga minyak.
Aksi militer AS dipastikan kian meningkatkan instabilitas di Timur Tengah sebagai pemasok utama minyak dunia. Harga minyak diprediksi bisa melonjak hingga di atas 120 dollar AS, bahkan 150 dollar AS, per barrel.
Meski demikian, ada yang memprediksi harga minyak akan turun akibat pecahnya perang. Tidak hanya karena upaya AS meredam dengan cara melepas cadangan minyak strategisnya, tetapi juga sejumlah pihak lebih dulu mengantisipasi kemungkinan pecahnya perang dengan menimbun minyak. Melonjaknya harga minyak akan memukul ekonomi dunia, termasuk emerging markets seperti India dan Indonesia yang kini babak belur neraca perdagangan dan transaksi berjalannya, antara lain, akibat impor minyak. Spekulasi bakal terjadi aksi militer membuat sentimen investor di berbagai belahan dunia terpuruk.
IMF memprediksi aksi militer ke Suriah akan mengakibatkan harga minyak melonjak 10 dollar AS per barrel dan pertumbuhan ekonomi global terpangkas 0,25 persen. Meski pada masa lalu AS sering menggunakan opsi perang untuk menggerakkan ekonominya, pertaruhan dinilai besar. Perang membuat sumber daya untuk pemulihan ekonomi tersedot untuk membiayai perang.
Untuk pembiayaan aksi militernya kali ini, ada kemungkinan AS akan dipaksa menaikkan pajak, mengurangi anggaran bagi sektor lain, atau menambah utang. Ini berarti tekanan baru bagi perekonomian AS yang baru mulai menunjukkan tanda-tanda pemulihan.
Langkah intervensi AS—jika dilaksanakan—juga akan memperburuk hubungan AS dengan China. China bersama Rusia saat ini adalah dua negara yang paling keras menentang aksi militer AS ke Suriah. Memburuknya hubungan AS-China akan berdampak pada pertumbuhan AS dan bisa memicu gejolak di pasar obligasi global mengingat China saat ini kreditor terbesar AS.
Kondisi ini bisa membahayakan ekonomi AS. Semakin rentan pemulihan ekonomi AS dan negara maju lain, semakin rentan pula negara berkembang yang selama ini bergantung pada pasar ekspor negara maju. Padahal, emerging markets adalah lokomotif pertumbuhan global saat ini.
Semua pihak berkepentingan menghindarkan perang dan ikut menjaga situasi yang kondusif bagi pemulihan ekonomi global. Tanpa perang saja perekonomian dunia saat ini sudah tertatih-tatih untuk bisa pulih.
(Kompas cetak, 9 September 2013)
Powered by Telkomsel BlackBerry®
Tidak ada komentar:
Posting Komentar