Cari Blog Ini

Bidvertiser

Sabtu, 28 September 2013

Menata Kota Jakarta (Tajuk Rencana Kompas)

Ketika kemacetan dan peruntukan kawasan masih amburadul, layak kita apresiasi kinerja pasangan Joko Widodo-Basuki Tjahaja Purnama.
Beresnya persoalan relokasi penduduk penghuni Waduk Pluit dan penataan Waduk Ria Rio, penataan Pasar Tanah Abang, serta penertiban pedagang kaki lima di sejumlah wilayah sekadar contoh "keberhasilan". Mereka sosok yang get things done, yang tidak hanya berwacana atau omong doang (omdo), tetapi berimbang antara bicara dan implementasi eksekutif.

Menata kota Jakarta bukan perkara mudah. Memindahkan kota Jakarta serta memisahkan dua entitas Jakarta, sebagai ibu kota negara dan Jakarta sebagai kota bisnis, kurang diwacanakan sebagai jalan keluar. Bukan karena sebagai kartu mati, bukan sebagai pemanis jalan keluar mengatasi kerumitan, melainkan disadari betul perbedaan besar antara jabatan eksekutif dan politisi.

Kedudukan kepala daerah itu jabatan politis sekaligus eksekutif. Politis karena dipilih lewat proses politik, eksekutif karena yang bersangkutan menjalankan putusan-putusan eksekutif dan tidak hanya berwacana politis. Rencana penataan dengan sasaran sekitar pasar dan pusat perbelanjaan di kawasan Roxy, Glodok, dan Blok M bukanlah pernyataan politis, melainkan eksekutif.

Sebagai pernyataan eksekutif, rencana itu disertai target, strategi obyektif, serta inisiatif-inisiatifnya yang terukur dan rinci terjabar. Jabatan birokratis yang diemban dengan semangat "pelayanan untuk publik" menjadi adrenalin merealisasikan pernyataan eksekutif mereka.

Entah karena kultur birokrasi dan masyarakat telanjur lekat dengan kemapanan dan paradigma politis, paradigma eksekutif sering berbenturan kepentingan. Taruhlah contoh rencana untuk membongkar pagar gedung sepanjang Jalan Sudirman-Thamrin. Faktor keamanan menjadi tantangan, tetapi dalam sebuah strategi eksekutif, niscaya masalah itu inklusif dan bukan aberasi yang dilupakan; sesuatu yang menyatu dengan konsep penataan sebuah kota besar, apalagi kota metropolitan.

Kebijakan program mobil murah secara tidak langsung berpengaruh pada tata kota Jakarta. Belum beres dengan penataan, upaya itu bisa direcoki kehadiran mobil murah, yang tidak hanya menciptakan kembali simpul kemacetan, tetapi juga semakin lemahnya daya dukung ekologi kota.

Dalam konteks menata ibu kota negara, jabatan eksekutif birokratis Gubernur DKI Jakarta tidak lagi mencukupi sebagai seorang kepala daerah. Seharusnya Gubernur DKI Jakarta adalah juga seorang menteri. Banyak keputusan agar menjadi eksekutif (bisa diputuskan) perlu melewati proses di tingkat Pemerintah Provinsi Jakarta ataupun pemerintah pusat. Berbeda dengan wacana memindahkan ibu kota, salah satu wacana politis mengatasi problem Jakarta, lebih pragmatis dan produktif menggulirkan wacana jabatan seorang Gubernur DKI Jakarta sekaligus sebagai menteri... siapa pun pejabatnya.

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000002355433
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger