Erosi nilai tukar rupiah itu memberikan pertanda bahwa resesi ekonomi dunia yang telah menurunkan, baik permintaan maupun tingkat harga (boom) komoditas primer, telah mengganggu fondasi perekonomian nasional kita, baik neraca pembayaran luar negeri, penerimaan negara, maupun penciptaan lapangan kerja.
Krisis ekonomi dunia dan konflik internal di Timur Tengah mengurangi kiriman tenaga kerja Indonesia (TKI) ke kampung halamannya. Rencana bank sentral Amerika Serikat mengurangi pembelian obligasi negaranya telah menurunkan harga obligasi dan meningkatkan suku bunga di negara itu.
Pada gilirannya, peningkatan suku bunga di negara tersebut telah menyedot modal jangka pendek dari negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, yang digunakan untuk membeli surat utang negara (SUN), sertifikat Bank Indonesia (SBI), ataupun efek-efek yang dijual di Bursa Efek Indonesia (BEI).
Peluncuran nilai tukar rupiah itu menjadi semakin rawan karena masyarakat luas sudah mulai antre menarik depositonya dalam rupiah dan menukarkannya dengan dollar AS. Ini sudah mirip dengan krisis kepercayaan masyarakat luas yang mendorong bank rush pada saat krisis ekonomi tahun 1997.
Peluncuran nilai tukar rupiah yang sangat cepat tersebut terjadi karena gabungan antara masalah eksternal yang berada di luar kendali pemerintah dan kecerobohannya sendiri.
Kecerobohan pemerintah itu tecermin dari cara mengurangi subsidi BBM yang plintat-plintut, kuota impor daging sapi dan hortikultura, serta korupsi di sektor migas ataupun pengadaan pemerintah yang mengulangi praktik korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) Orde Baru.
Strategi kebijakan antar-kementerian pun tidak ada koordinasi sehingga membingungkan rakyat karena ada kalanya saling bertentangan. Boom berupa kenaikan volume dan tingkat harga bahan mentah ataupun permintaan atas TKI selama 30 tahun terakhir adalah merupakan guncangan eksternal yang positif, yang terjadi karena tingginya tingkat laju pertumbuhan ekonomi China dan India yang memerlukan segala jenis bahan mentah untuk kegiatan ekonominya.
Rakyat yang semakin makmur di kedua negara itu menuntut kualitas makanan yang lebih baik, termasuk minyak goreng dan ikan dari Indonesia. Sama sekali tidak ada peran pemerintah di situ. Pemasukan modal asing dan pinjaman luar negeri pun meningkat karena pemodal asing percaya bahwa Indonesia akan mampu melunasi utangnya akibat dari boom bahan mentah tersebut.
Karena resesi ekonomi dunia, termasuk China dan India, dalam dua tahun terakhir, boom tersebut tiba-tiba terhenti dan menurunkan secara drastis jumlah permintaan ataupun tingkat harga-harga komoditas primer atau TKI. Juga tidak ada peran pemerintah di situ.
Kebijakan stabilisasi rupiah
Pemerintah mempunyai tiga kelompok besar kebijakan makroekonomi untuk mengatasi erosi penurunan nilai tukar rupiah dewasa ini. Kebijakan tersebut berupa kebijakan fiskal, moneter, dan deregulasi untuk meningkatkan produktivitas serta daya saing perekonomian. Kebijakan fiskal berupa kebijakan berutang, menjual aset negara, perpajakan, serta penetapan tingkat dan struktur anggaran belanja negara.
Kebijakan moneter terpenting terdiri dari kebijakan kurs devisa dan tingkat suku bunga. Tujuan dari kebijakan deregulasi ialah meningkatkan produktivitas serta daya saing perekonomian di pasar dunia. Dalam kelompok ini juga termasuk kemudahan perizinan usaha, tata niaga, ataupun persaingan usaha yang dapat menjamin agar pemegang tender adalah perusahaan yang paling efisien dan bukan yang punya koneksi ataupun menyogok, seperti kontraktor proyek Hambalang, obat dan peralatan kesehatan Kementerian Kesehatan, serta pengadaan peralatan oleh Korlantas ataupun Kernel Oil. BUMN dan BUMD perlu ditata kembali agar mampu bersaing dengan BUMN Singapura dan Malaysia di pasar global dan bukan merupakan beban yang menyebabkan kegagalan negara.
Dewasa ini kemungkinan Indonesia menambah utang adalah terbatas. Walaupun besarnya utang pemerintah (dewasa ini di bawah 30 persen) masih jauh di bawah ambang batas 60 persen, negara-negara kreditor, seperti AS, Jepang, Eropa, dan Australia, tidak mungkin lagi dapat memberikan bantuan keuangan karena kesulitan APBN-nya sendiri.
Bunga penjualan SUN Indonesia di pasar uang telah menjadi semakin meningkat. Bunga SUN rupiah jangka waktu 30 tahun sudah naik menjadi 8,75 persen dan SUN dalam dollar AS menjadi 6,91 persen. Di dalam negeri, kita tidak punya bank tabungan pos yang kuat ataupun dana pensiun serta perusahaan asuransi yang dapat menyerap SUN dan SBI serta efek-efek yang dijual di BEI.
Dewasa ini sekitar 35 persen dari SUN rupiah yang dijual di BEI dibeli pemodal asing jangka pendek sehingga rawan pada lalu lintas modal jangka pendek tersebut. Dengan rasio pajak yang rendah (13 persen dari PDB) dan nilai ekspor yang merosot, investor ragu tentang kemampuan Pemerintah Indonesia melunasi kewajiban utangnya. Negara dapat melunasi utangnya jika memiliki surplus anggaran dan cadangan devisa yang memadai.
Kebijakan pemberian keringanan pajak bersifat jangka menengah dan panjang serta tidak ada kepastian, pelaku ekonomi akan memanfaatkannya menambah investasi seperti yang diharapkan. Sementara itu, dampak kebijakan pengeluaran negara memang cepat dapat dirasakan dan dapat langsung mencapai sasaran yang dituju. Namun, implementasi pengeluaran negara sangat rawan terhadap korupsi, baik pihak eksekutif, legislatif, maupun yudikatif, mulai dari tingkat pusat hingga daerah, dan oleh semua partai termasuk yang tengah berkuasa yang tadinya menjanjikan penanggulangan korupsi.
Dalam kelompok kebijakan moneter, devaluasi kurs mata uang memang akan merangsang ekspor kalau ada permintaan dari pasar dunia dan masih ada kapasitas untuk meningkatkan produksi.
Penurunan tingkat suku bunga sangat bergantung pada reaksi dunia usaha. Suku bunga yang rendah itu sekaligus merangsang konsumsi masyarakat, tetapi kebocoran konsumsi ini ke luar negeri juga sangat besar, seperti mobil, sepeda motor, telepon seluler, ataupun buah serta pakaian eks-China.
Perlu diubah
Dalam kelompok deregulasi, termasuk perbaikan iklim usaha dan menangani kelangkaan infrastruktur, liberalisasi investasi modal asing dalam sejumlah sektor perekonomian, termasuk pertambangan dan perbankan yang dewasa ini semakin dibatasi. Kebijakan moneter dan fiskal tersebut bersama dengan perbaikan iklim usaha dan mengatasi kelangkaan infrastruktur merupakan bagian dari kebijakan perubahan strategi pembangunan jangka menengah dan panjang.
Strategi pembangunan Indonesia memang perlu diubah dari inward looking (berorientasi ke dalam) sekarang ini menjadi outward looking (berorientasi keluar) untuk menarik investasi modal asing sebanyak mungkin dan menumbuhkan ekspor industri manufaktur, dimulai dengan produksi suku cadang dan komponen produksi industri manufaktur. Investasi modal asing tersebut sekaligus diperlukan untuk menciptakan lapangan pekerjaan di kampung halaman sendiri sehingga mengurangi ekspor TKI ke mancanegara.
(Anwar Nasution, Guru Besar Fakultas Ekonomi UI)
(Kompas cetak, 10 September 2013)
Powered by Telkomsel BlackBerry®
Tidak ada komentar:
Posting Komentar