Cari Blog Ini

Bidvertiser

Rabu, 11 September 2013

Ironi Harga Tahu dan Tempe (Tajuk Rencana Kompas)

Mogok produsen tahu dan tempe sejak Senin (9/9) cermin kebijakan pangan pemerintah yang tidak terpadu dan dilepas pada mekanisme pasar.
Harga kedelai di tingkat perajin anggota koperasi tahu dan tempe naik hingga 50 persen menjadi di atas Rp 10.000 pada awal bulan ini. Penyebabnya terutama merosotnya nilai tukar rupiah.

Perajin tahu dan tempe—mayoritas usaha mikro dan kecil—khawatir tidak dapat menjual produk mereka. Kenaikan harga BBM dan bahan pangan lain menggelembungkan inflasi yang memangkas daya beli rakyat.

Besok, menurut rencana, mogok berproduksi akan berakhir. Mereka mengatakan akan menaikkan harga jual tahu dan tempe hingga 20 persen jika tidak ada kepastian harga kedelai segera turun.

Kenaikan harga itu bukan hanya dapat memengaruhi inflasi bulan September di tengah upaya pemerintah menekan inflasi, melainkan juga berakibat merosotnya kemampuan rakyat memenuhi kebutuhan protein.

Kedelai merupakan salah satu sumber protein nabati terbaik, nilainya setara dengan protein hewani. Tahu dan tempe dikonsumsi sebagian besar masyarakat, antara lain, karena selama ini harganya relatif terjangkau rakyat berpenghasilan menengah-bawah.

Perlindungan terhadap konsumen kedelai di dalam negeri melalui penetapan Bulog sebagai penyangga harga ditolak Dana Moneter Internasional (IMF) saat Indonesia berpaling kepada lembaga itu saat krisis ekonomi 1998.

Perubahan situasi tersebut seyogianya segera diikuti intensifikasi produksi. Alih-alih dapat memenuhi kebutuhan dalam negeri, saat ini produksi kita hanya sekitar 0,8 juta ton, sementara impor mencapai 1,7 juta ton.

Konsekuensi dilepasnya harga pada mekanisme pasar dan sebagian besar kebutuhan dalam negeri tergantung dari impor adalah kerentanan pada gejolak harga internasional dan nilai tukar rupiah.

Situasi ini akan terus berulang apabila kebijakan terbaru pemerintah, yaitu menugaskan Bulog sebagai pengaman harga dan penyalur kedelai, tidak diikuti peningkatan kemampuan Bulog dari segi pendanaan dan penguasaan tata niaga. Kita telah belajar dari kasus impor daging sapi yang juga tidak berhasil menurunkan harga.

Tidak ada solusi jangka pendek dan instan untuk menurunkan harga kedelai, kecuali pemerintah memberi subsidi harga. Namun, hal ini berisiko moral hazard.

Pola pikir kita tidak perlu mandiri pangan karena dapat membeli dari pasar internasional pada saat membutuhkan terbukti tidak menjawab persoalan rakyat.

Meningkatkan produksi dalam negeri adalah jawaban jangka menengah dan panjang. Namun, petani memerlukan insentif harga untuk berproduksi. Untuk itu perlu ada kebijakan agrobisnis komprehensif dari hulu ke hilir, termasuk mengaktifkan sistem resi gudang. Juga harus ada kepemimpinan nasional agar tiap instansi bekerja saling melengkapi dan tak saling menyalahkan.

(Tajuk Rencana Kompas cetak, 10 September 2013)
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger