Ananta Lianggara sebelumnya divonis hukuman 1 tahun penjara oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Surabaya dan Pengadilan Tinggi Jawa Timur. Ananta melanggar Pasal 65 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika. Sebelumnya, jaksa penuntut umum menuntut Ananta dengan hukuman 8 tahun penjara. Majelis hakim agung yang diketuai Artidjo memperberat hukuman dari 1 tahun penjara menjadi 20 tahun penjara.
Di tengah retorika pemimpin bangsa menyatakan perang terhadap narkotika, tetapi miskin dalam implementasi, putusan majelis hakim Artidjo Alkostar, Sri Murwahuni, dan Suryajaya memberikan secercah harapan. Memperberat hukuman dari 1 tahun menjadi 20 tahun itu diputuskan bulat. Tidak ada perbedaan pendapat (dissenting opinion). Hukuman diperberat karena ditemukan unsur permufakatan jahat dalam kasus itu.
Putusan Artidjo bisa dianggap melawan arus di tengah kecenderungan hakim yang justru memberikan potongan hukuman untuk terdakwa kasus narkotika atau memberikan pengampunan atau grasi kepada terpidana kasus narkotika. Kita memandang putusan Artidjo mencoba menawarkan jawaban bagaimana kekuasaan kehakiman bisa ikut berkontribusi menjawab permasalahan laten bangsa, yakni merebaknya peredaran narkotika.
Narkotika adalah masalah dunia. Presiden Amerika Serikat Richard Nixon (1969-1974) menggunakan istilah perang melawan ancaman bahaya narkotika. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pun mempunyai semangat yang sama. Mengambil momentum peringatan Hari Antinarkotika Internasional tahun 2011, Presiden Yudhoyono mendesak agar bersikap serta bertindak lebih agresif dan ambisius dalam memberantas narkotika.
Mengutip survei Badan Narkotika Nasional, prevalensi pengguna narkoba terus naik dari 1,99 persen di tahun 2008 menjadi 2,21 persen di tahun 2010. Jumlah itu setara dengan 3,8 juta penduduk. Jika tak ada langkah signifikan, tahun 2015 prevalensi menjadi 2,8 persen atau sekitar 5,1 juta penduduk.
Langkah radikal memang harus dilakukan agar negara ini tak lagi jadi pasar narkotika. Artidjo tidak sedang berpidato memerangi narkotika. Akan tetapi, sang hakim sedang berpidato melalui putusannya yang berdampak nyata pada kepentingan masyarakat. Artidjo yang punya kecenderungan memperberat hukuman kasus narkotika dan korupsi yang ditanganinya merupakan wujud kontribusi para hakim menjawab kegelisahan bangsa.
Masalahnya, bagaimana kita menjadikan putusan Artidjo memberi efek kepada bangsa ini untuk sama-sama memerangi peredaran narkotika melalui tindakan nyata. Bagaimana pikiran progresif Artidjo bisa menyemangati kita untuk tidak hanya sama-sama bekerja, tetapi juga bekerja bersama-sama memerangi peredaran narkotika.
Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000002769748
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Tidak ada komentar:
Posting Komentar