Pelakunya, RN (18), tertangkap dan menyesali perbuatannya. Karena balas dendam, dia menyiramkan air keras di bus yang melintas di depan Bukit Duri Plaza, Jalan Jatinegara Barat. Selain salah sasaran, 18 orang terluka dan korban sendiri harus menanggung biaya pengobatannya.
Kekerasan antarpelajar, tawuran pelajar, seolah-olah kita anggap biasa. Sebab dan akibat berikut analisis sosial psikologis sudah sering disampaikan. Polisi sudah berusaha menangani. Namun, tawuran terus terjadi sporadis, dengan korban pelajar dan bukan, dengan kerusakan fasilitas umum dan ketakutan di kalangan sekolah dan pelajar sendiri, dengan ketakutan umum dan rasa miris, kita orangtua yang menyaksikan.
Akan tetapi, kasus penyiraman air keras tidak bisa lagi dianggap sebagai kenakalan pelajar. Hal itu sudah menjurus kejahatan. Selain luka bakar korban, juga rasa takut dalam kendaraan umum. Naik kendaraan umum, bus kota, masyarakat terancam kekerasan dan kejahatan. Padahal, naik bus umum harus dilakukan setiap hari, sarana transportasi yang murah menuju dan pulang dari kerja.
Selama ini tawuran pelajar seolah-olah sebagai bagian dari kerasnya Jakarta. Orangtua dan sekolah kewalahan, aparat keamanan terkesan membiarkan. Korban kekerasan, termasuk korban tewas, biasanya justru mereka yang tidak terlibat tawuran. Bagi orangtua, melepas anak ke sekolah berarti masuk ke hutan belantara. Sekolah angkat tangan karena kejadiannya di luar halaman sekolah. Alibi aparat membiarkan, mengimbau keterlibatan orangtua dan sekolah dalam ikut meredam tawuran pelajar.
Dalam proses hukum untuk pelajar, masih berkembang wacana, pelaku kejahatan anak berstatus pelajar di bawah umur hukumannya harus dititikberatkan pada faktor pendidikan. Mereka masih dalam proses akil balik. Namun, ketika kejahatan remaja itu mengancam keselamatan umum, agar tidak ditiru, pelakunya harus dimintai pertanggungjawaban sebagai subyek hukum. Faktor kejiwaan, faktor rumah tangga, faktor sekolah sebagai pertimbangan, tetapi tidak meniadakan tanggung jawab.
Pembiasaan, bahkan pembiaran, tawuran pelajar mencederai upaya perbaikan Pemerintah Provinsi Jakarta. Terkuranginya kemacetan lalu lintas dan penanganan kejahatan di Jakarta menjadi sia-sia oleh terbiarkannya ketakutan dalam sarana transportasi umum. Sudah sewajarnya korban penyiraman tidak harus menanggung sendiri biaya pengobatannya. Menciptakan ketakutan publik.
Mengurangi potensi tawuran pelajar perlu terus dilakukan kerja sama orangtua, sekolah, dan polisi. Kita apresiasi dan dukung aparat keamanan bekerja dengan sekolah dan orangtua menciptakan tindakan preventif dan kuratifnya. Keamanan dan rasa aman umum, hak asasi yang perlu dihargai.
Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000002530632
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Tidak ada komentar:
Posting Komentar