Cari Blog Ini

Bidvertiser

Sabtu, 26 Oktober 2013

Menggugat IMF-Bank Dunia (Rekson Silaban)

Oleh: Rekson Silaban

Mengapa eksistensi IMF dan Bank Dunia masih kalian pertahankan, padahal gagal mengantisipasi krisis global yang berulang kali muncul?"

Inilah pertanyaan awal saya saat berbicara dengan petinggi IMF dalam acara pertemuan tahunan ke-10 antara kelompok masyarakat sipil (CSO) dan IMF-Bank Dunia. Setiap tahun IMF dan Bank Dunia mengundang wakil kelompok masyarakat sipil ke Washington untuk berkonsultasi atas program mereka. Sekalipun tahun depan kedua lembaga yang kerap disebut Bretton Woods Institute ini akan merayakan 70 tahun pendiriannya (1944- 2014), kritik atas kebijakan kontroversial mereka masih terus mengalir. Kelompok masyarakat sipil berpendapat, sentimen pasca-Perang Dunia II tak bisa diteruskan sebagai semangat yang melandasi operasi IMF dan Bank Dunia. Saat ini kekuatan ekonomi dunia multipolar dengan munculnya negara-negara dengan kekuatan ekonomi baru. Porsi pemilikan saham dan suara (voting power and representation) di kedua lembaga ini harus diubah.

Sesuai mandatnya IMF bertugas memastikan stabilitas mata uang, mengoordinasi kebijakan ekonomi anggota, membantu kesulitan neraca pembayaran. Bank Dunia melalui grup bentukannya—IBRD, IFC, IDA, MEGA—bertugas membantu pelaksanaan pembangunan di negara-negara anggotanya, yaitu dengan menyediakan fasilitas pembiayaan bagi investasi dan pembangunan. Namun, mengapa krisis global terus berlangsung, apakah karena alasan ketidakmampuan atau syarat yang dianjurkan salah?

Dalam berbagai pengalaman internasional, termasuk krisis yang saat ini terjadi di Eropa, untuk bisa memperoleh pinjaman, IMF dan Bank Dunia sering menekan pemerintah melalui syarat-syarat tertentu yang dituangkan dalam program penyesuaian struktural (SAP). Yang dihebohkan saat ini, kebijakan IMF dalam bentuk pengetatan anggaran dengan cara memangkas subsidi (austerity measures), mempromosikan pasar kerja fleksibel, reformasi jaminan pensiun, dan jaminan sosial. Dalam pertemuan tahunan ini juga terungkap, Bank Dunia dan IMF terlibat memiskinkan dunia ketiga melalui utang yang diberikannya. Itu sebabnya tahun lalu Hongaria langsung menutup kantor IMF setelah dianggap terlalu banyak intervensi dan membuat resep salah. Ini menambah daftar panjang negara yang keluar dari program IMF setelah Argentina, Thailand, Indonesia, dan Filipina. Program SAP juga dituduh mendorong munculnya korupsi dan melemahkan demokrasi. Joseph Stiglitz, peraih Nobel Ekonomi mengatakan, secara teori, IMF mendukung lembaga demokrasi, tetapi dalam praktiknya melemahkan demokrasi melalui pemaksaan kebijakan SAP yang tak mengindahkan pendapat parlemen dan masyarakat sipil. Sekalipun mereka sering berkilah syarat pinjaman yang diberikan bukan atas keinginan mereka— tetapi hasil negosiasi bersama—sebenarnya yang sering terjadi negosiasi tak berjalan seimbang di kala negara yang sedang limbung didera krisis ekonomi tidak akan memiliki kekuatan untuk bernegosiasi.

Kebijakan pascakrisis

Menjawab pertanyaan saya, salah satu direktur eksekutif Bank Dunia menjawab, "Kami mengakui pernah melakukan beberapa kebijakan kontroversi, khususnya saat krisis Asia akhir 1990-an, tetapi saat ini semuanya berbeda." Pertanyaannya, benarkah telah terjadi perubahan kebijakan kedua lembaga ini? Bila ditelusuri dalam dekade terakhir, tampaknya hanya Bank Dunia yang memulai tanda-tanda perubahan. Isyarat perubahan itu, misalnya, bisa dilihat dari program SAP Bank Dunia yang dilakukan dengan pendekatan baru yang disebut comprehensive development framework sejak tahun 1998.

Kerangka baru ini meliputi empat hal pokok penting yang sebelumnya tak ada: pendekatan holistik berkesinambungan, pinjaman mengikuti kebutuhan peminjam (country ownership), hasil capaian harus terukur, melibatkan partisipasi masyarakat sipil secara transparan. Bank Dunia juga memperkenalkan beberapa instrumen untuk memudahkan masyarakat memonitor dan mempersoalkan proyek yang merugikan masyarakat, misalnya perusakan lingkungan, korupsi, serta pelanggaran HAM dan hak buruh. Mereka menyebutnya disclosure policy. Untuk melakukan gugatan, disediakan mekanisme inspection panel yang berfungsi merespons gugatan masyarakat yang merasa dirugikan oleh proyek yang didanai grup Bank Dunia.

Sementara untuk transparansi disediakan situs yang bisa diakses semua orang untuk mengetahui jumlah, besaran proyek yang didanai mereka di setiap negara. Bank Dunia juga melarang proyek yang melanggar hak dasar buruh, seperti tertuang dalam delapan konvensi fundamental ILO. Menyediakan dana kepada CSO untuk memonitor dan membantu kesuksesan program Bank Dunia. Yang terbaru, di bawah presiden baru, Jim Yong Kim menargetkan menghapus kemiskinan ekstrem sampai level 3 persen pada 2030 dan menaikkan pendapatan untuk kelompok 40 persen penduduk yang di garis bawah. Saat ini orang miskin ekstrem (hidup dengan 1,25 dollar AS per hari) berjumlah 1,2 miliar orang. Adapun dengan pendapatan 2 dollar AS per hari 2,4 miliar orang.

Sementara kebijakan IMF tak banyak berubah. IMF selalu datang dengan obat sama untuk memulihkan krisis negara. Syaratnya selalu standar, pengetatan moneter, pengetatan penyaluran dana, peningkatan tingkat suku bunga, kenaikan pajak, pengurangan belanja negara, penjualan BUMN, penghapusan hambatan aliran uang masuk dan keluar, serta penghapusan hambatan yang melarang pemilikan modal asing atas semua investasi.

Kritik terus menggunung. Salah satunya dari Policy Dialogue Universitas Columbia, dengan menggunakan data IMF ditemukan fakta bahwa reformasi pasar kerja fleksibel yang dianjurkan IMF 2010-2012 ternyata tak menciptakan upah lebih tinggi dan lapangan kerja lebih banyak. Oxfam juga mengeluarkan laporan tentang merebaknya kemiskinan dan ketimpangan pendapatan di Eropa sebagai akibat kebijakan pengetatan anggaran yang dipromosikan IMF melalui konsep Troika. Serikat buruh dunia (ITUC) mengkritik policy paper IMF yang selalu memprioritaskan stabilitas makroekonomi dan inflasi yang rendah ketimbang penciptaan pekerjaan. Sudah saatnya IMF mengubah SAP-nya dengan menyertakan penciptaan pekerjaan yang luas, perbaikan jaminan sosial, penghormatan kepada buruh, dan keberlangsungan lingkungan sebagai cara untuk meningkatkan kredibilitas IMF.

Akibat lambannya demokratisasi di tubuh IMF, Brasil, Rusia, India, dan China memelopori pembentukan BRIC tahun 2009 di Rusia. Kelompok masyarakat sipil menyambut kelahiran lembaga ini dengan antusias, sekalipun ada yang bersikap kritis bahwa nantinya BRIC akan bertindak sama seperti IMF. Namun, gagasan BRIC untuk perubahan sistem keuangan global dapat dukungan negara berkembang, di antaranya perubahan standar mata uang perdagangan dunia yang saat ini dipegang dollar AS, juga reformasi IMF atas sistem keranjng mata uangnya (special drawing rights), dan perluasan negara dalam pengambilan keputusan ekonomi global yang tidak hanya G-7. Pemilikan saham saat ini masih didominasi AS dan Eropa. Di Bank Dunia, saham AS 15,85 persen, Eropa 15,5 persen (Jerman 4 persen, Inggris 4 persen, Rusia 3,75 persen, Perancis 3,75 persen). Jepang 6,84 persen, China 4 persen, dan Arab Saudi 3 persen.

Reformasi IMF-Bank Dunia
Untuk mencegah krisis global berulang, perubahan paradigma sistem ekonomi global saat ini diperlukan, salah satunya demokratisasi di IMF dan Bank Dunia. Prof Susanna Cafaro dari Universitas Salento, Lecce, Italia, mengusulkan delapan pemikiran untuk membuat kedua lembaga lebih demokratis dan efisien, mulai dari reformasi struktur eksekutif, distribusi suara dan saham, representasi negara, akses lembaga keuangan regional ikut jadi pemilik saham. Seiring tema pertemuan tahunan kali ini "Tantangan Global, Solusi Global", seharusnya masalah global tak hanya diselesaikan segelintir pihak, tetapi juga membuka akses semua pihak untuk ikut kontribusi.

Indonesia beruntung tak lagi dibantu IMF. Kita menantikan pemimpin Indonesia selanjutnya yang akan mengeluarkan Indonesia dari program bantuan Bank Dunia. Sebab apa pun bentuknya, jerat utang luar negeri akan membajak upaya negara meningkatkan kesejahteraan dan kualitas hidup rakyat. Lihat saja postur APBN kita yang membayar lebih banyak utang ketimbang untuk jaminan sosial, kesehatan. Penyebabnya, beban angsuran pokok dan bunga utang luar negeri sudah menyita hingga seperempat anggaran belanja. Belum lagi ada agenda tersembunyi untuk mengaitkan utang dengan penyusunan UU dan peraturan pemerintah, yang tak lain bentuk intervensi kepentingan global terhadap kedaulatan ekonomi dan politik Indonesia.

Rekson Silaban
ILO Governing Body

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000002775225
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger