Cari Blog Ini

Bidvertiser

Kamis, 17 Oktober 2013

Perlindungan bagi TKI (Tajuk Rencana Kompas)

KEMENTERIAN Luar Negeri menyebutkan, ada 245 warga negara Indonesia terancam hukuman mati, termasuk di antaranya pekerja migran.
Keadaan ini memprihatinkan. Mereka terancam hukuman mati, antara lain, di Malaysia, Arab Saudi, China, dan Iran. Mereka didakwa membunuh, mengedarkan narkoba, dan perbuatan kriminal lain, termasuk sihir.

Kasus terakhir yang menarik perhatian di Tanah Air menimpa pekerja migran asal Belu, NTT, Wilfrida Soik. Wilfrida dituduh membunuh majikannya dengan perencanaan. Putusan sela atas kasus Wilfrida akan dibacakan pengadilan Malaysia pada 17 November mendatang.

Wilfrida menjadi korban perdagangan orang. Protokol PBB untuk Mencegah, Menekan, dan Menghukum Perdagangan Orang mendefinisikan perdagangan manusia sebagai perekrutan, pemindahan, pengangkutan, pengiriman atau penerimaan orang dengan ancaman, pemaksaan, atau bentuk pemaksaan lain, penculikan, penipuan, pemalsuan, atau penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, atau dengan memberi atau menerima bayaran atau manfaat untuk mendapatkan izin dari seseorang yang di bawah kontrol orang lain untuk tujuan eksploitasi.

Banyak temuan menunjukkan, pekerja migran, terutama perempuan, diperdagangkan. Prosesnya dimulai di daerah asal, melibatkan orang-orang dekat korban. Tidak sedikit dari mereka diberangkatkan dalam usia anak. Kemiskinan dan tidak ada lapangan kerja dengan upah memadai ikut menjadi alasan bekerja ke luar negeri.

Praktik yang terjadi mulai dari pemalsuan identitas, informasi tidak tepat mengenai pekerjaan dan tempat bekerja, hingga iming-iming gaji tinggi. Praktik itu membuat pekerja migran rentan eksploitasi dan kekerasan.

Pemerintah berupaya memotong rantai perdagangan orang di daerah asal tenaga kerja. Beberapa pemerintah daerah mengeluarkan peraturan untuk mencegah perdagangan orang. Sayangnya, upaya tersebut belum efektif, bahkan menimbulkan beban baru bagi pekerja migran.

Akar permasalahan yang jarang dilihat dan diselesaikan adalah relasi kuasa tidak seimbang antara pekerja migran, terutama perempuan, dan lingkungannya. Di tempat asal, dia didorong menjadi pekerja rumah tangga migran karena hanya itu lapangan kerja yang tersedia. Di tempat tujuan, akses mereka kepada dunia luar terbatas sehingga rawan menjadi korban eksploitasi dan kekerasan.

Kita menyebut pekerja migran pahlawan devisa, tetapi belum memberi perlindungan memadai. Persiapan secara psikologis menjadi sama pentingnya dengan menyiapkan pekerja dengan keterampilan serta informasi dan pengetahuan tentang negara tempat bekerja.

Memotong rantai perdagangan orang di dalam negeri tak kurang penting daripada hanya membuat perjanjian dengan negara penerima untuk menjamin hak pekerja, termasuk hak libur, berkumpul, perlakuan manusiawi, dan mendapat perlindungan hukum.

Negara menerima sekitar Rp 70 triliun per tahun dari 6,5 juta pekerja migran. Bahkan satu pekerja migran dihukum mati sudah terlalu banyak.

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000002673509
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger