Cari Blog Ini

Bidvertiser

Kamis, 17 Oktober 2013

Putusan Hakim Progresif (Suteki)

Oleh: Suteki

SEPERTI diberitakan, Tommy Hindratno, pegawai Direktorat Pajak, diperberat hukumannya oleh Mahkamah Agung melalui putusan kasasi; dari 3 tahun 6 bulan menjadi 10 tahun penjara. MA juga menghukum Zen Umar, Direktur Utama PT Terang Kita atau PT Tranka Kabel, dari semula 5 tahun menjadi 15 tahun penjara.
Sejak ditetapkan sebagai kejahatan yang luar biasa, tindak pidana korupsi seharusnya memang ditangani secara luar biasa pula, baik oleh polisi, jaksa, hakim, petugas lembaga pemasyarakatan, maupun oleh advokat dan adresat hukum masyarakat. Enam komponen penegakan hukum tersebut mesti bahu-membahu dalam pemberantasan korupsi melalui empat komponen penegakannya: komponen substansi (UU); struktur (kelembagaan); kultur hukum; serta kepemimpinan.

Pengadilan selama ini telah banyak berubah filosofinya, dari benteng terakhir pencarian keadilan menjadi benteng terakhir pencarian siapa yang menang dan kalah. Apa yang kurang dalam hal penyediaan UU dan struktur penegakan hukum kita? Semua telah tersedia, tetapi mengapa keadilan yang dicita-citakan tidak kunjung terwujud?

Ada dua hal penyebabnya: kultur hukum aparat penegak hukum, khususnya hakim, dan kepemimpinannya. Dua hal ini menjadi bahan bakar hukum itu dapat bekerja dengan baik atau tidak. Untuk putusan MA atas kasus Hindratno dan Zen Umar jelas sangat kental dipengaruhi faktor kultur hukum hakim dan kepemimpinan Artidjo sebagai Ketua Majelis Kasasi MA yang menangani perkara ini. Putusan Artidjo seolah hendak menjawab bahwa masih ada hakim MA yang "hidup" hati nuraninya, setelah beberapa waktu lalu ada hakim MA mengabulkan permohonan peninjauan kembali atas perkara Sudjiono Timan yang berada dalam status buronan.

Kultur hukum hakim sangat berpengaruh dalam kegiatan pemeriksaan sekaligus dalam penyusunan pertimbangan-pertimbangan hukumnya sebelum menjatuhkan putusan. Hakim yang tidak responsif terhadap adanya krisis dalam tindak pidana korupsi akan mengalami conflict of interest, bahkan terkooptasi oleh kekuatan-kekuatan lain di luar dirinya.

Namun, kultur hukum saja tidak akan cukup membingkai karakter hakim-hakim untuk progresif dalam memutus perkara. Persoalan kepemimpinan juga perlu dipertimbangkan. Selama ini masih banyak hakim yang merasa masa bodoh dengan kreativitas dalam memutus perkara, apalagi berwatak progresif.

Dalam hal ini perlu didorong terus semangat agar hakim mau melakukan tindakan kreatif dan progresif dalam menangani tindak pidana yang memang sudah ditetapkan sebagai kejahatan luar biasa seperti tindak pidana korupsi. Siapa yang menjadi kunci pendorong itu kalau bukan ketua MA dan juga ketua KY tempat para hakim bernaung secara institusional.

Keadilan substantif
Para hakim tak boleh sekadar jadi corong UU (la bouche de la loi) dan tradisi konvensional yang menghambat kreativitas dalam mewujudkan keadilan. Bukankah keadilan itu mesti diutamakan daripada kepastian hukum, seperti yang dikatakan oleh penggagasnya, Gustav Radbruch?

Dalam literatur ditemukan jenis keadilan yang disebut perfect justice (Werner Menski, 2006). Menurut Menski, pencarian terhadap keadilan melalui hukum telah dilakukan dengan tiga pendekatan: pendekatan filosofis, hasilnya adalah keadilan ideal; normatif positivis, hasilnya adalah keadilan formal; dan socio-legal, hasilnya adalah keadilan materiil. Menski menawarkan jenis pendekatan keempat, yang disebut pendekatan legal pluralism. Jenis keadilan yang diharapkan lahir dari pendekatan legal pluralism adalah perfect justice, yang dapat disetarakan dengan keadilan substantif.

Hal ini sesuai dengan pernyataan Menski bahwa melalui pendekatan legal pluralism ini seorang pengambil keputusan hukum harus senantiasa memperhatikan kompleksitas perkara yang dihadapi. Kompleksitas itulah yang dijadikan dasar konstruksi penalaran hukumnya sebelum polisi, jaksa, dan hakim memutus kebijakan tertentu.

Dalam penanganan kasus-kasus hukum di negeri yang serba plural seperti Indonesia ini, termasuk kasus korupsi, tampaknya tidak cukup bagi hakim seperti Artidjo hanya menggunakan hukum negara (state law) sebagai bahan dasar utama untuk mengonstruksi penalaran hukum aparat penegak hukum. Dibutuhkan kerja keras untuk mengikutsertakan faset-faset hukum, selain faset hukum perundang- undangan.

Reformasi PT hukum
Apabila kultur hukum hakim dan kepemimpinan di MA dan KY kurang mendukung kreativitas dan progresivitas hakim dalam memutus perkara, masih adakah harapan menghadirkan keadilan kepada masyarakat? Tentu masih ada, yakni melalui reformasi pendidikan tinggi hukum (PTH). Hal ini perlu ditawarkan sebagai solusi mengingat PTH sebagai ibu asuh bagi para hakim. Mereka digodok dan dilahirkan dari PTH ini.

Selama ini PTH kita cenderung mengajarkan hukum hanya dalam satu faset, yaitu faset UU yang sebenarnya sangat kering dari aspek moral, ethics, dan religion sehingga keras, kaku, dan dingin layaknya sebuah skeleton. Tugas PTH adalah merohanikan ilmu hukum sehingga berwatak humanis dan progresif, yakni (1) dengan kecerdasan spiritualnya seorang penegak hukum, termasuk hakim, tidak terkungkung oleh peraturan apabila ternyata peraturan hukum itu justru tidak menghadirkan keadilan; (2) penegak hukum mau melakukan penemuan-penemuan hukum melalui pencarian makna yang lebih dalam dari suatu teks dan konteks hukum sehingga tidak terjebak dengan makna-makna gramatikal yang dangkal; dan (3) penegak hukum mau memiliki kepedulian dan keberpihakan terhadap rakyat, pihak-pihak yang lemah yang harus dijamin dan dilindungi hak-haknya.

PTH se-Indonesia mesti mau berbenah dan berubah untuk tanggap terhadap adanya krisis dalam pemberantasan korupsi. Putusan-putusan progresif hanya bisa dihasilkan oleh hakim-hakim yang progresif. Hakim-hakim progresif hanya dapat dihasilkan oleh PTH yang progresif pula, yang tanggap terhadap ketidakcukupan hukum yang hanya dipandang sebagai peraturan perundang-undangan.

Untuk itu, seharusnya mulai dirintis perubahan kurikulum PTH serta perubahan pola pikir para dosen, pengajar diklat profesi hukum, menuju kurikulum pendidikan progresif, tidak lagi konvensional-legal positivistik.

Suteki, Guru Besar Hukum dan Masyarakat FH Undip

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000002551003
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger