Tulisan Hermawan Sulistyo di Kompas (24/10/2013) tentang Kapolri baru dan sumber daya manusia Polri sangat menarik dan layak dijadikan bahan pendalaman.
Sebagai staf ahli Kapolri yang gemar mendorong akuntabilitas Polri, catatan guru besar riset LIPI ini saya pandang akurat, detail, dan menyentuh permasalahan mendasar di Polri. Ada kalimat kunci yang ditulis beberapa kali, "...Kunci keberhasilan kepemimpinan Kapolri transisi terletak pada kebijakan penataan SDM. Harus drastis dan radikal sebab waktu Sutarman tidak lama...".
Ini adalah pernyataan jujur dan berani yang bagi Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) sejalan dengan arah kebijakan SDM yang sedang disiapkan sebagai bagian arah bijak Polri 2014-2019. Harus diakui banyak keganjilan dalam manajemen SDM Polri selama ini. Sebagian kalangan berpendapat, kebijakan SDM Polri bukan saja perlu dievaluasi sebagai bentuk pertanggungjawaban, melainkan juga perlu secara berani untuk total mengubahnya.
Kasus perwira menengah yang ditemukan di lift Mabes Polri membawa dana Rp 200 juta merupakan pintu masuk untuk menjawab begitu banyak pertanyaan tentang manajemen SDM Polri selama ini. Kompolnas sendiri menerima sangat banyak keluhan, komplain, dan bahkan protes dari banyak perwira Polri yang merasa ada sesuatu yang tidak beres tetapi sukar terkatakan. Ketika hal tersebut dikonfirmasi ke pejabat terkait, Kompolnas selalu menerima jawaban normatif, "Ah, itu suara perwira yang tidak berprestasi", atau "Suara orang yang sakit hati saja". Tidak pernah ada semangat yang lebih terbuka untuk mendalami informasi ini.
Sebagai contoh ada, AKBP yang baru tiga bulan menempati jabatan Wadir Lantas (IIIB1) langsung diangkat pada jabatan Karo SDM (IIB3) dengan pangkat baru KbP. Padahal ada Peraturan Kapolri yang jelas menyebutkan bahwa kenaikan seperti itu membutuhkan syarat minimal 1 tahun menduduki masa jabatan lama. Ada pula ditemukan KbP keluaran 1981 sudah tiga tahun pada jabatan Karo Polda tipe B (IIB3), padahal menyelesaikan jenjang pendidikan tertinggi Sespati 6 tahun lalu.
Contoh di atas hanya bagian kecil dari begitu banyak temuan Kompolnas yang tidak terjawab. Tentu saja Kompolnas cemas dan khawatir apabila hal-hal seperti ini tidak ditanggulangi secara serius oleh Kapolri baru, akan berpotensi menurunkan semangat kerja dan bahkan semangat dedikasi anggota.
Jalan keluar
Dalam lanjutan tulisannya Hermawan menulis, "...Apa yang bisa dilakukan Kapolri baru? Pertama-tama, ia harus mencari asisten SDM Kapolri yang mampu merestrukturisasi postur angkatan serta berani menolak titipan karier dari politisi, pejabat, dan pengusaha".
Saran ini sebuah langkah manajerial yang perlu penuh keberanian dari seorang Kapolri baru mengingat putusan ini menjadi harapan banyak pihak, termasuk Kompolnas, walau akan bertarung mengalahkan ewuh pakewuh internal. Kapolri agar rajin mendengar dan menerima masukan dari pengawas internal dan eksternal serta mendayagunakan Divisi Profesi dan Pengamanan (Propam) secara maksimal atas temuan atau informasi adanya pejabat Polri yang bertindak kurang terpuji.
Berikan perhatian khusus dan jangan ditoleransi, jangan ragu dan bimbang jika ada kapolda, wakapolda, dan direktur kriminal di sejumlah polda—atau kapolres dan kasat reserse di tingkat polres—yang suka memihak pada sengketa tanah atau bermain perkara yang ada wilayahnya. Segera copot dan ganti dengan pejabat lain yang bersih dan berintegritas. Polri punya stok sangat melimpah atas kualifikasi terakhir ini, baik di tingkat perwira tinggi (pati), apalagi setingkat komisaris besar (kombes).
Apabila itu dilakukan segera dalam 100 hari pertama, akan melahirkan preseden baru dalam penanganan SDM Polri. Kompolnas siap bekerja sama untuk memberikan informasi dan pandangan karena Kompolnas menerima banyak masukan tentang hal-hal seperti ini.
Kinerja pemberantasan korupsi oleh Polri juga akan jadi alat ukur keberhasilan Sutarman sebagai Kapolri. Ada enam langkah yang perlu dipertimbangkan Kapolri baru dalam rangka pemberantasan korupsi.
Pertama, Polri harus memiliki strategi dasar dalam menentukan sektor prioritas pemberantasan korupsi. Atas dasar itu segera lakukan pemetaan kerawanan korupsi yang terjadi yang mungkin dapat dilakukan Polri di seluruh jajaran dan lini.
Kedua, Polri segera melakukan berbagai cara untuk percepatan proses penyelidikan dan penyidikan. Hal ini penting dilakukan karena kinerja Polri akan sangat bergantung pada kinerja instansi lain, seperti kejaksaan, BPK/BPKP, dan KPK. Di sini Polri harus cerdas dalam meningkatkan koordinasi dan kerja sama lintas instansi. Terwujudnya sinergitas antara Polri dan lembaga-lembaga ini dimaksudkan untuk mempercepat proses penuntasan kasus korupsi yang diklaim sebagai prioritas negara dan pemerintah saat ini.
Ketiga, segera buat program untuk meningkatkan kemampuan sumber daya manusia penyidik tindak pidana korupsi. Cari personel terbaik dan uji integritas mereka dengan sungguh-sungguh, bekerja sama dengan KPK dan bangun barisan penyidik korupsi yang andal. Mereka inilah yang dapat disebut Densus Anti-Korupsi.
Keempat, Kapolri perlu menyusun strategi dasar dan bentuk-bentuk tindakan kepolisian dalam rangka pengembalian aset hasil tipikor. Lakukan pula koordinasi intensif antarlembaga yang memiliki kompetensi dalam mengembalikan aset, baik di dalam negeri maupun luar negeri.
Kelima, Polri harus bersungguh-sungguh membangun sistem dan mekanisme implementasi bagi pembuka aib (whistle blower) sesuai Inpres No 1/2013.
Terakhir, keenam, Polri perlu menetapkan sasaran prioritas yang dibidik, yakni korupsi oleh penegak hukum dan korupsi pada jajaran penyelenggara negara. Dalam tataran ini sungguh sangat penting Polri memberikan contoh dengan tidak pilih bulu dan tidak terpengaruh semangat korps yang sempit jika menemukan ada korupsi, suap, atau gratifikasi pada anggota Polri.
(M Nasser, Komisioner Kompolnas)
Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000002878662
Powered by Telkomsel BlackBerry®
Tidak ada komentar:
Posting Komentar