Cari Blog Ini

Bidvertiser

Sabtu, 02 November 2013

Arus Balik Politik Kekerabatan (M Alfan Alfian)

Oleh: M Alfan Alfian  

Wacana antipolitik dinasti atau kekerabatan marak belakangan ini, menyusul berurusannya Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah dengan Komisi Pemberantasan Korupsi.

Seperti mendapat momentum yang tepat, berbagai elemen masyarakat Banten memprotes fenomena tersebut. Bahwa masih dalam lingkup keluarga, kerabat Atut ada yang menjabat sebagai Wakil Bupati Pandeglang, Wali Kota Tangerang Selatan, Wakil Bupati Serang, dan Wali Kota Serang. Fenomena ini juga tak luput dari komentar Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

Berita Kompas (19/10/13) mencatat, setidaknya ada 37 kepala daerah terpilih yang memiliki hubungan kekerabatan dengan pejabat di daerah lain. Mereka tersebar di sejumlah provinsi. Sebagian kerabat meneruskan jabatan yang sama. Bupati Indramayu Anna Sophanah meneruskan jabatan suaminya, Irianto MS Syafiuddin. Demikian pula dengan Bupati Kendal Widya Kandi Susanti, Bupati Bantul Sri Suryawidati, Bupati Probolinggo Puput Tantriana Sari, dan Bupati Kediri Haryanti Sutrisno, yang melanjutkan posisi suami masing-masing. Adapun Mohammad Makmun Ibnu Fuad menggantikan ayahnya, Fuad Amin, sebagai Bupati Bangkalan.

Pola lainnya adalah maju dalam pilkada dengan posisi berbeda sehingga dinasti politik bisa terbangun lebih besar. Contohnya, Gubernur Lampung Sjachroedin ZP, sedangkan anaknya, Rycko Menoza, menjadi Bupati Lampung Selatan. Gubernur Sulut Sinyo Harry Sarundajang dan anaknya, Ivan SJ Sarundajang, Wakil Bupati Minahasa. Gubernur Sulsel Syahrul Yasin Limpo dan adiknya, Ichsan Yasin Limpo, Bupati Gowa.

Dalam konteks ini, perlu diapresiasi upaya Kementerian Dalam Negeri yang mengusulkan pembatasan kerabat yang mencalonkan diri dalam pilkada dan juga lembaga legislatif. Kendatipun responsnya tidak seragam terkait dengan pembatasan itu di Dewan Perwakilan Rakyat, setidaknya isu politik kekerabatan terus menggelinding.

Konflik kepentingan

Isu tersebut juga memicu kritik di tengah publik luas bahwa politik kekerabatan tak sebatas atau sekadar terkait dengan dinasti politik di tingkat lokal, tetapi juga dalam konteks partai politik dan lingkup nasional.

Dengan demikian tidak dapat dicegah bahwa makna politik dinasti atau kekerabatan tengah mengalami kemuluran atau perluasan. Makna yang luas ini memang bisa dipahami karena kekerabatan dalam politik pada praktiknya bisa merambah ke banyak tempat: partai politik, legislatif, eksekutif, dan jabatan publik lainnya.

Yang ditolak dalam politik kekerabatan sebenarnya bukan pelarangan hak politik seseorang. Namun, untuk menghindarkan konflik kepentingan dan potensi penyalahgunaan kekuasaan, seseorang yang masih satu kerabat—apakah ke atas atau ke samping dengan pejabat politik aktual—perlu diberi jeda waktu kompetisi politik. Inilah yang memerlukan aturan.

Selain konflik kepentingan, jaringan politik kekerabatan juga berpotensi menyandera kepentingan publik. Apalagi apabila kebijakannya didasari pola pikir kepentingan kekerabatan. Ia akan mirip dengan ekses oligarki politik yang mementingkan elite atau kelompoknya. Maka, kalau konflik kepentingan menjadi payung utamanya, reformasi politik masih jauh dari final. Isu politik kekerabatan tingkat lokal hanyalah pintu masuk untuk menguak isu-isu politik yang lebih mendasar konflik kepentingan di tingkat nasional.

Politik kekerabatan yang marak membentuk polanya tersendiri. Corak klientalistik dan bosistik dalam politik kekerabatan yang marak di lingkup lokal juga akan terpantul dalam cermin politik nasional. Filipina adalah contoh kasus yang agak ekstrem dalam soal ini. Kritik juga marak, tetapi upaya pengaturan yang lebih jelas belum berhasil dilakukan. Dalam kasus Filipina pula, kekerasan politik juga lazim terkait dengan fenomena persaingan politik keluarga.

Demokrasi lokal

Di Indonesia, praktik politik kekerabatan tingkat lokal biasanya ditandai adanya satu jaringan kerabat politik dominan, yang tidak segera memperoleh tandingan yang setara. Daya rambah mereka terus menguat, bahkan tak mudah terkoreksi oleh civil society.

Lagi pula, yang lazim mengemuka dalam kasus-kasus politik kekerabatan ini bukan semata atas sentimen klientalistik keningratan, tetapi lebih pada corak pragmatis-transaksional. Karena untuk merawat popularitas dan memperkuat jaringan kekerabatan butuh biaya besar, potensi korupsinya pun juga besar.

Wacana antipolitik kekerabatan ini sebaiknya menjadi pelajaran bagi partai-partai politik untuk memperkuat basis pengaderan dan orientasi meritokratiknya. Di sisi lain, masyarakat atau civil society juga harus lebih proaktif dalam menjernihkan demokrasi lokal.

(M ALFAN ALFIAN, Dosen Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Nasional (Unas) Jakarta)

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000002898679
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger