KPU telah bergerak selangkah menuju Pemilu 9 April 2014. KPU menetapkan jumlah pemilih 186.612.255 ditambah pemilih luar negeri 2.010.280. Jika dijumlahkan, pemilih terdaftar mencapai 188.622.535. Namun, di antara 186,6 juta pemilih itu, terdapat 10,4 juta data pemilih yang masih dianggap bermasalah.
Jumlah pemilih Pemilu 2014 bertambah. Dibandingkan dengan Pemilu Legislatif 2009 terdapat lonjakan jumlah pemilih lebih dari 17 juta orang. Pada Pemilu Legislatif 2009, jumlah pemilih terdaftar sebanyak 171.068.667. Itu berarti ada lonjakan sekitar 10 persen. Jumlah pemilih dari tiap pemilu menunjukkan tren meningkat. Hal itu wajar karena jumlah penduduk bertambah.
Namun, sayangnya, tren kenaikan jumlah pemilih tidak sebanding dengan partisipasi politik pemilih. Partisipasi politik justru menurun sejak Pemilu Legislatif 1999 sampai Pemilu Legislatif 2009. Tingkat partisipasi politik mencapai 92,74 persen pada Pemilu 1999 dan pada Pemilu Legislatif 2009 berada di angka 70,96 persen. Ada penurunan tingkat partisipasi politik 20 persen!
Pemilu 1999 menjadi klimaks dari partisipasi politik masyarakat. Euforia politik terjadi seiring dengan berakhirnya Orde Baru. Namun, seiring dengan kian seringnya pemilu digelar, baik di tingkat nasional (presiden, DPR, dan DPD) maupun di tingkat daerah (gubernur dan wali kota), terasa ada kejenuhan politik. Bagi sebagian anak muda, politik menjadi tidak menarik. Demokrasi hanya menghasilkan anggota legislatif dan pemimpin. Namun, demokrasi belum menghadirkan kesejahteraan rakyat.
Pada situasi psikologis-politis seperti ini pemilu 9 April dilangsungkan. Kita mendorong KPU membersihkan daftar pemilih tetap (DPT) bermasalah. Bermasalah dalam arti DPT tidak terdapat nomor induk kependudukan (NIK) atau NIK yang tidak standar. Padahal, kehadiran KTP elektronik dengan satu nomor identitas seharusnya bisa mencegah manipulasi data diri. Ada baiknya, Kementerian Dalam Negeri dan KPU menjelaskan 10,4 juta pemilih bermasalah?
KPU juga harus memastikan apakah 10,4 juta pemilih bermasalah itu semata-mata karena masalah ketidaksesuaian NIK atau memang pemilih fiktif. Kita berharap KPU dan Kementerian Dalam Negeri duduk bersama membersihkan DPT bermasalah dengan tetap menghormati otoritas KPU sebagai penyelenggara pemilu. Namun, kita berpendapat kelemahan administratif pemuatan NIK dalam DPT tidak menghilangkan hak pilih seseorang.
Kegairahan berpartisipasi pada Pemilu 2014 harus diupayakan meskipun tak bisa dipaksakan. Di Indonesia, memilih adalah hak dan bukan kewajiban. KPU dan juga pemimpin partai politik harus ikut mendorong pemilih apatis menjadi pemilih partisipatif dengan menghadirkan caleg dan pemimpin yang memberikan harapan baru.
Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000003022575
Powered by Telkomsel BlackBerry®
Tidak ada komentar:
Posting Komentar