Masyarakat politik biasanya hanya pengambil manfaat dari gerakan yang dimulai masyarakat sipil, seperti terlihat dari gerakan Reformasi 1998 yang awalnya dimulai masyarakat sipil.
Sejarah Indonesia juga melahirkan banyak tokoh yang menjadi mercusuar masyarakat sipil. Kebesaran Presiden Abdurrahman Wahid yang bergema sampai sekarang lebih merupakan buah kiprahnya di masyarakat sipil, bukan masyarakat politik.
Gerakan masyarakat sipil memiliki dua ciri, yaitu kesukarelaan dan tak punya kepentingan langsung dengan kekuasaan politik. Indische Partij yang berdiri Desember 1912 sebagai partai politik pertama di Hindia Belanda, esensi sebenarnya adalah gerakan masyarakat sipil.
Perserikatan Nasional Indonesia yang didirikan Soekarno pada 4 Juli 1927, dan kemudian menjadi Partai Nasional Indonesia, juga lebih pas sebagai gerakan masyarakat sipil.
Kondisi sebaliknya terjadi saat ini. Sejumlah organisasi massa yang menyatakan diri gerakan masyarakat sipil sebenarnya lebih menunjukkan ciri gerakan masyarakat politik, bahkan menjadi bagian dari parpol. Hal ini terjadi karena kuatnya intensitas politik ormas tersebut.
Dugaan munculnya kekuatan uang dalam pemilihan pimpinan beberapa ormas menjadi tanda lain matinya aspek kesukarelaan gerakan masyarakat sipil, digantikan dengan kepentingan.
Jadi, jika pada awal berdirinya Republik Indonesia banyak parpol yang esensinya masyarakat sipil, sekarang ada banyak organisasi massa tetapi esensinya gerakan masyarakat politik.
Gagal bertransformasi
Erosi gerakan masyarakat sipil menjadi masyarakat politik menjadi kerugian dan kejatuhan terbesar masyarakat sipil setelah era Orde Baru. Gerakan masyarakat sipil, yang awalnya merupakan lokomotif perubahan politik, pelan-pelan mengalami pembusukan karena pudarnya aspek kesukarelaan dan kuatnya motif terhadap kekuasaan.
Kapitalisasi dunia pendidikan menjadi salah satu sebab mundurnya gerakan masyarakat sipil. Cirinya, perguruan tinggi menerima ribuan mahasiswa dalam satu angkatan. Uang membanjir masuk ke universitas dengan biaya kuliah tiap semester mencapai belasan juta rupiah.
Kondisi itu membuat suara kritis mahasiswa sebagai bagian dari sikap kritis masyarakat makin jarang terdengar. Kampus cenderung diisi mahasiswa dari kelompok ekonomi menengah atas yang umumnya tak melihat ada masalah dalam hidupnya.
Keadaan diperparah kedangkalan dan etos manajerial yang tak memberikan tempat terhadap hal-hal bersifat filosofis. Akibatnya, proses bukan yang utama. Kurikulum mendorong kompetensi dengan menghilangkan dimensi integritas. Intinya, mahasiswa hanya didorong secepat mungkin menyelesaikan kuliah.
Transformasi demokrasi Indonesia yang mengandung anomali ikut memicu erosi gerakan masyarakat sipil. Biasanya, liberalisasi ekonomi diiringi menyempitnya peran negara hingga kebebasan pasar terbuka lebih lebar. Namun, hal itu tak terjadi di Indonesia.
Komisi independen
Pembentukan sejumlah komisi negara independen era reformasi membuat sejumlah pegiat gerakan masyarakat sipil masuk di dalamnya dan sekaligus menjadikan beban dan cakupan negara meluas. Hal-hal yang sebelumnya merupakan lahan masyarakat sipil diambil alih negara. Fenomena ini antara lain terjadi dalam pengelolaan zakat yang sebelumnya menjadi urusan masyarakat. Saat ini sedang dibuat undang-undang tentang zakat dan Kementerian Agama menjadi pengelolanya.
Pemilihan komisioner komisi negara umumnya juga dilakukan berdasarkan aplikasi. Ini membuat pegiat gerakan masyarakat sipil yang masuk di dalamnya sejak awal diposisikan di bawah kekuatan politik. Mereka yang terpilih juga belum tentu calon terbaik. Idealnya, komisioner komisi negara dipilih berdasarkan nominasi, bukan aplikasi.
Negara seharusnya memberdayakan melalui kebijakan negara. Untuk mengembangkan gerakan masyarakat sipil di Australia, misalnya, perusahaan yang menyumbang gerakan masyarakat sipil mendapat insentif pengurangan pajak.
Indonesia Corruption Watch menjadi contoh pemberdayaan gerakan masyarakat sipil yang konsisten. ICW yang awalnya merupakan kelompok kecil terus diperkuat dan membuktikan prestasinya. Kini, ICW menjadi mitra sejumlah komisi negara antara lain dalam mendeteksi rekam jejak calon anggota komisi atau pejabat tertentu.
Pemberdayaan gerakan masyarakat sipil dibutuhkan karena akan berfungsi sebagai katup pengaman ketika negara tidak dapat maksimal menjalani perannya. Masalahnya, yang dikerjakan negara cenderung bukan pemberdayaan. Lalu, siapa yang jadi katup pengaman negara? (M Hernowo)
Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000003782412
Powered by Telkomsel BlackBerry®
Tidak ada komentar:
Posting Komentar