Kala timnas sepak bola Indonesia bermain di Gelora Bung Karno, penonton dari berbagai lapisan masyarakat biasanya tak henti berteriak. Suasana stadion pun bergelora. Mereka menyemangati pemain Indonesia sekaligus mengintimidasi lawan.
Sayangnya, dukungan besar itu seolah tak pernah cukup. Seperti jutaan pemirsa di televisi, mereka yang hadir di stadion lebih banyak menelan kekecewaan dengan kegagalan timnas.
Tahun 2013 bakal tutup buku. Sepanjang tahun ini, lagi-lagi tak ada prestasi yang membanggakan dari tim nasional senior kita. Gejolak di kepengurusan PSSI membuat kondisi timnas senior tidak stabil. Intrik dan warna-warni kepentingan pengurus masih terasa kental di PSSI.
Begitu pula dengan timnas U-23 yang lagi-lagi gagal di tangan Thailand sehingga hanya membawa pulang medali perak SEA Games Myanmar 2013.
Belum genap setahun, timnas senior telah empat kali berganti pelatih. Pada babak kualifikasi Piala Asia melawan Irak, Februari silam, tim Garuda dipimpin oleh Nilmaizar.
Sebulan kemudian, pelatih asal Padang itu digantikan Luis Manuel Blanco. Yang menggelikan, Blanco yang asal Argentina bahkan belum sempat menangani tim untuk melawan Arab Saudi pada 23 Maret. Ia didepak ketua baru Badan Tim Nasional.
Duet Rahmad Darmawan dan Jacksen F Tiago dipilih sebagai pelatih. Belakangan, Rahmad diminta menangani timnas U-23 untuk SEA Games, sedangkan timnas senior dipegang Jacksen. Setelah sembilan laga bersama timnas, PSSI mengganti Jacksen dengan Alfred Riedl.
Riedl, pelatih asal Austria itu, pernah membawa Indonesia menjadi runner-up Piala AFF 2010. Pemilihan Riedl semoga bukan langkah blunder. Secara personal, komunikasi Riedl dengan pemain tidaklah sebaik Jacksen.
Riedl tak bisa berbahasa Indonesia. Faktor komunikasi ini bisa menghambat hubungan dengan pemain, baik dalam membicarakan strategi maupun sekadar ungkapan sederhana memotivasi pemain.
Bahasa kelihatannya masalah sepele. Tapi, bagi tim, dampaknya cukup besar. Itu sebabnya, pelatih asal Italia, Carlo Ancelotti, mau susah payah belajar bahasa Inggris ketika menangani Chelsea. Begitu juga dengan pelatih Bayern Muenchen Pep Guardiola, yang menyiapkan waktu khusus untuk belajar bahasa Jerman. Bahkan pelatih sekaliber Jose Mourinho pun menguasai lima bahasa. Tak heran jika pelatih asal Portugal itu bisa sukses di Liga Inggris, Italia, dan Spanyol.
Kompetisi lokal
Bukan rahasia lagi, kesuksesan timnas basisnya juga didukung kompetisi yang sehat dan profesional. Tahun 2013, sistem kompetisi kita berantakan karena adanya dualisme. Akibatnya, tidak ada misi dan visi yang jelas. Pemilihan pemain timnas cenderung tarik ulur karena adanya berbagai kepentingan.
Arah pembenahan kompetisi sudah benar dengan adanya unifikasi (menggabungkan Liga Super Indonesia dan Liga Primer Indonesia) yang dimulai 2014. Sayangnya, PSSI masih setengah hati melakukan pembenahan.
Lucunya, PSSI dengan sengaja menetapkan standar penilaian minim agar banyak klub bisa berpartisipasi dalam liga unifikasi. Padahal, dari 25 klub yang diverifikasi, tak satu pun lolos jika menggunakan lima parameter klub profesional versi Konfederasi Sepak Bola Asia (AFC). Kelima parameter itu adalah infrastruktur pendukung, pendanaan klub, pengembangan usia dini, personel dan administrasi, serta legalitas.
Karena tidak ada yang lolos, PSSI akhirnya hanya menilai dua aspek, yakni infrastruktur dan pendanaan klub. Dengan dua aspek itu, PSSI lantas menetapkan 22 klub yang lolos sementara. Disebut sementara karena masih ada sembilan klub yang validitas keuangannya harus dibenahi.
Dengan minimnya parameter penilaian, klub-klub Indonesia yang berkompetisi tahun depan dipastikan tak bisa berkompetisi di Liga Champions Asia karena tidak memenuhi standar AFC.
Profesionalisme PSSI memang masih jauh panggang dari api. Keputusan mereka tidak meloloskan klub Pro Duta dan Persepar Palangkaraya bisa jadi bahan tertawaan. Padahal, Pro Duta berstatus sebagai juara play off IPL, sedangkan Persepar adalah runner-up. PSSI beralasan kedua klub itu tidak memenuhi satu dari dua aspek yang dijadikan parameter: infrastruktur yang memadai. Yang jadi pertanyaan, untuk apa ada laga play off ?
Beruntung di tengah karut- marut sepak bola nasional, masih ada timnas U-19. Sukses Evan Dimas dan kawan-kawan menjuarai Piala AFF di Sidoarjo, Jawa Timur, September, menjadi pelipur lara. Tim asuhan pelatih Indra Sjafri itu juga lolos ke putaran final Piala Asia U-19 2014.
Sukses timnas U-19 lebih karena prinsip tegas Indra Sjafri yang enggan terjebak intrik dan kepentingan tertentu, di tubuh PSSI dan di sekelilingnya. Semoga Indra bisa bertahan pada prinsipnya. Di sisi lain, PSSI harus lebih serius membangun sistem kompetisi profesional sehingga tak melupakan prestasi. (Aswin Rizal Harahap/Gatot Widakdo)
Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000003668431
Powered by Telkomsel BlackBerry®
Tidak ada komentar:
Posting Komentar