Jika diperas, sepanjang 2013 sekurangnya terdapat enam masalah ekonomi yang menyergap negara ini: (i) manajemen pasokan dan stabilitas harga pangan masih jauh dari laik sehingga mendorong inflasi dan menggerogoti kesejahteraan rakyat; (ii) sendi mikroekonomi sangat lemah sehingga kesanggupan untuk berkompetisi di pasar internasional amat rapuh, yang berakibat kepada defisit neraca perdagangan; (iii) pertumbuhan ekonomi makin kedap kepada kelompok miskin sehingga ketimpangan pendapatan kian menganga; (iv) sumber daya dan kebijakan fiskal tak mampu secara efektif memengaruhi jalannya pembangunan, terutama saat krisis ekonomi terjadi; (v) perekonomian terlalu terbuka sehingga mudah disergap krisis yang datang dari luar negeri; dan (vi) watak kebijakan moneter hanya melayani kepentingan sendiri sehingga berpotensi melumpuhkan sendi ekonomi lainnya.
Pendalaman masalah
Semua yang mengikuti perkembangan ekonomi nasional dalam 15 tahun terakhir tentu tidak asing dengan masalah-masalah di atas karena mirip momen ritual yang terjadi secara rutin dan berulang. Artinya, persoalan itu bukan khas pada 2013 saja, tetapi sebagian besar merupakan kado yang diterima rakyat setiap tahun. Perbedaan hanya terjadi pada intensitas dan pendalaman masalah. Intensitas di sini dimaknai seberapa sering siklus problem itu menghampiri perekonomian nasional.
Jika dulu krisis datang secara berkala, katakanlah 15 atau 7 tahun sekali, sekarang hampir tanpa jeda. Sementara itu, pendalaman masalah dimengerti seberapa jauh soal yang muncul tersebut memiliki potensi melantakkan perekonomian nasional (korporasi ataupun rumah tangga). Anomali yang bisa disebut: ketika perekonomian dipacu secara cepat sehingga menghasilkan pertumbuhan yang relatif tinggi, ternyata intensitas krisis kemudian kerap terjadi dan makin dalam dampaknya.
Tiga masalah pertama yang disebut di atas, yaitu stabilitas harga pangan, sendi mikroekonomi, dan kebijakan tak sensitif terhadap kaum miskin, menarik dikaji dalam perspektif ini. Modernisasi dituntut untuk memperkuat sektor basis sehingga nilai tambah yang dihasilkan dari sektor industri atau jasa berpeluang memenangi persaingan di pasar internasional.
Indonesia memilih jalur berbeda dengan memisahkan akselerasi sektor industri dan jasa tanpa lapis sektor primer. Implikasinya, kebutuhan pangan (dan aneka komoditas primer lain) tak bisa dicukupi dan jika terdapat kelebihan produksi (seperti produk perkebunan) dibiarkan mengalir ke pasar internasional tanpa diolah terlebih dulu. Pada sisi ini, instabilitas harga pangan dan kerapuhan sendi mikroekonomi jadi keniscayaan yang tak bisa dibendung. Implikasinya, pembangunan jadi terisolasi dari
sebagian besar masyarakat yang bekerja di sektor primer sehingga ketimpangan pendapatan menjadi fakta yang tak dapat ditampik.
Selanjutnya, tiga masalah yang terakhir (efektivitas kebijakan fiskal, perekonomian yang terbuka, dan karakter kebijakan moneter) merupakan produk dari rigiditas pengambil kebijakan. Sepuluh tahun lalu kekuatan APBN hanya Rp 400 triliun dan sekarang Rp 1.600 triliun, tetapi pelabuhan, irigasi, jalan, dan rel kereta api tetap nyaris tak terbangun. Sektor industri mengalami kemunduran, UMKM tak bergerak, dan peran BUMN terhadap kesejahteraan belum pula terlihat. Perekonomian juga gampang dihajar krisis akibat keterbukaan ekonomi, entah dari sisi perdagangan, nilai tukar, investasi, maupun perubahan kebijakan negara lain (seperti quantitative easing di AS). Celakanya, kebijakan moneter hanya dipagari untuk menjaga sektor itu sendiri, tanpa dipikirkan apakah kebijakan dimaksud telah berkontribusi terhadap penguatan ekonomi nasional atau malah membunuh benih perekonomian riil yang dijalankan penuh ketekunan oleh masyarakat.
Pemapanan kelembagaan
Rakyat pasti berharap pilihan kebijakan yang diambil pemerintah pada masa mendatang lebih mencerminkan pemihakan kepada kekuatan ekonomi nasional dan golongan menengah-kecil. Namun, di luar itu masih terdapat pekerjaan lain seputar perbaikan "aturan main" (institutions) sebagai penyangga setiap kebijakan yang telah diproduksi. Pada level makro, aturan main itu sekurangnya menyasar enam aspek berikut: tata kelola, penegakan hukum, kepastian regulasi, keadilan, administrasi pajak, serta kelembagaan fiskal dan moneter (Siddiqui dan Ahmed, 2013).
Negara berkembang, seperti Indonesia, digolongkan sebagai bangsa yang rapuh dalam menyusun dan memperkuat kelembagaan sehingga karakter aturan main yang dibuat menjadi bersifat ekstraktif (mengisap), bukan inklusif (Acemoglu dan Robinson, 2012). Jika dikuliti enam aspek kelembagaan tersebut, semuanya terkait dengan persoalan yang diangkat di muka sehingga pemapanan kelembagaan merupakan pertempuran yang harus dimenangi di masa depan.
Tata kelola berfungsi untuk menjalankan setiap sistem yang telah dipilih dengan tingkat akurasi, konsistensi, dan prinsip yang terjaga. Inilah yang membuat setiap kebijakan tak mudah ditelikung di tengah jalan sehingga terhindar dari moral hazard, perburuan rente, dan korupsi.
Kebijakan ekonomi di Indonesia berantakan begitu dijalankan karena rapuhnya tata kelola ini. Penegakan hukum selalu dapat rapor merah karena nyaris hak kepemilikan tak dilindungi. Praktik pembajakan dibiarkan, barang ilegal leluasa diperdagangkan, dan kontrak tidak bisa jadi sandaran dalam sengketa di institusi hukum. Implikasinya, insentif investasi menjadi rendah dan pelaku ekonomi malas menanamkan modalnya. Kepastian regulasi juga bermasalah karena dibuat secara serampangan sehingga mudah sekali dipatahkan di Mahkamah Konstitusi (jika berupa UU) ataupun berubah karena tidak sesuai dengan kebutuhan di lapangan. Ongkos ekonomi atas ketidakpastian regulasi ini tentu saja sangat mahal.
Keadilan juga bagian dari kelembagaan yang mesti disantuni karena di sinilah eksistensi pemerintah dipertaruhkan. Sederhana saja, jika pemerintah mengundang investasi asing dengan sejumlah insentif fiskal atau nonfiskal, apakah bobot sama juga diberikan kepada pengusaha domestik, lebih-lebih pelaku skala kecil dan koperasi. Alih-alih diberi ruang gerak, kehidupan mereka kian dicekik dengan aneka kebijakan yang memojokkannya. Potensi peneriman pajak yang begitu besar, katakanlah sekitar Rp 1.800 triliun (20 persen dari PDB), menguap karena administrasi pajak buruk (termasuk perilaku korup) dan keterbatasan regulasi/sumber daya. Banyak wajib pribadi ataupun badan tak tersentuh dan seakan hal itu lumrah. Akhirnya, desain kebijakan dan efektivitas kebijakan fiskal dan moneter selalu dipertanyakan karena tak sesuai dengan sumber daya "melimpah" yang dipunyai. Pada 2014 pentas kontestasi politik dibuka, semoga pemimpin yang terpilih kelak punya nyali dan gagasan besar untuk mengubah keadaan darurat ini.
Ahmad Erani Yustika, Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya; Direktur Eksekutif Indef
Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000003826582
Powered by Telkomsel BlackBerry®
Tidak ada komentar:
Posting Komentar