Seperti kita baca pada Kamis (2/1), Presiden di Istana Cipanas mengatakan bahwa peralihan Indonesia dari sistem otoritarian ke sistem demokrasi banyak dinilai berhasil. Ini satu catatan tersendiri karena tidak semua negara berhasil dalam transisi demokrasi.
Meski berhasil, demokrasi yang dihasilkan transisi ini belum matang. "Masih ada tantangan dan persoalan yang kita hadapi untuk memastikan konsolidasi atau pematangan demokrasi berjalan baik dan menjadi demokrasi yang kuat, berkeadaban, dan berkualitas," lanjut Presiden.
Di butir terakhir itulah persisnya kita ingin meluaskan wacana. Dengan menjadi negara demokratis, jika tesis tentang kebaikan demokrasi kita yakini kebenarannya, ada banyak peluang yang bisa kita gali dan kembangkan.
Bukan saja rakyat semakin terbuka dalam menyampaikan aspirasinya, tetapi dengan itu rakyat juga semakin cerdas dan kreatif karena ide-ide bagus tidak dikekang. Kalau ini diterapkan dalam perekonomian, mestinya akan muncul banyak prakarsa yang bisa membawa ekonomi Indonesia terbang melaju.
Fakta bahwa Presiden menilai kondisi yang ada belum ideal, berarti masih ada banyak masalah dalam praksis demokrasi saat ini. Paling tidak kita bisa menyoroti dua hal. Pertama, kita masih belum gamblang menjawab, untuk apa demokrasi yang ada di tangan. Kedua, karena masih ruwet, akibatnya demokrasi yang ada tidak produktif.
Sebagaimana di dunia media, salah satu wacana yang aktual adalah menjawab pertanyaan, "Untuk apa kebebasan yang sudah kita raih". Atau dalam bahasa lain, setelah free from, lalu free for?.
Kita bisa saja melayangkan pikiran ke tempat jauh untuk menjawab pertanyaan free for?. Misalnya, kita akan jadi negara dengan militer kuat atau bisa menjadi negara unggul dalam penerbangan. Namun, sebelum yang jauh itu, ada dua jawaban di depan mata yang seharusnya bisa kita respons dengan tegas dan konsisten.
Free for? bisa kita jawab untuk menciptakan clean and good governance. Jika tata laksana pemerintahan bisa kita tegakkan, hukum pun tegak dan berkarisma, pejabat akan takut korupsi.
Mengapa itu belum terjadi?
Jawaban free for? yang tidak kalah mendesak adalah untuk menegakkan Pancasila. Ini terkait langsung dengan pernyataan Presiden bahwa kebebasan surplus, tetapi kepatuhan defisit. Salah satu manifestasi yang bisa kita simak adalah ketidakpatuhan terhadap hukum dan konstitusi, misalnya yang menyangkut toleransi.
Kita paham bahwa kepatuhan yang dimaksud Presiden pasti bukan kepatuhan membebek, melainkan kepatuhan terhadap konsensus nasional, terhadap konstitusi. Dan itulah salah satu wujud keadaban.
Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000003926473
Powered by Telkomsel BlackBerry®
Tidak ada komentar:
Posting Komentar