Cari Blog Ini

Bidvertiser

Kamis, 30 Januari 2014

Melepas Belenggu Partai (Adnan Pandu Praja)

PADA era Orde Baru yang didominasi militer, Soeharto menentukan orang-orang yang duduk di DPR, BPK, dan Mahkamah Agung. Maka, segala keluaran yang akan dihasilkan oleh lembaga-lembaga tersebut tentu berdasarkan pesanan rezim Soeharto.

Itulah yang akan terjadi jika kewenangan didominasi tangan besi eksekutif: sama sekali mengabaikan check and balances dan menafikan hak-hak rakyat sesuai amanat UUD 1945.

Belajar dari kondisi itu, reformasi 1998 mengubah bandul dominasi tata kelola negara dari eksekutif ke legislatif. Dalam perkembangannya, kita merasakan amanat tersebut diselewengkan. Atas nama kepentingan partai, seorang anggota Dewan mencari sumber-sumber pendanaan secara tak sehat, ditandai dengan banyak anggota Dewan yang dijerat KPK. Sampai saat ini sudah 73 anggota Dewan yang telah terjaring KPK. Sepertinya jumlah tersebut akan terus bertambah.

Ada empat alasan kekhawatiran profil Dewan hasil Pemilu 2014 juga tak akan jauh berbeda. Pertama, anggota Dewan yang diusulkan partai politik tidak diseleksi berdasarkan kompetensi, rekam jejak, dan yang paling utama integritasnya.

Kedua, calon anggota Dewan tidak membuat visi misi atau rencana kerja konkret dan terpublikasi dengan baik. Dengan begitu, kinerja yang bersangkutan dapat dievaluasi jika terpilih sebagai anggota Dewan.

Ketiga, forum tempat orang mengadukan perilaku anggota Dewan, yaitu Badan Kehormatan, cenderung mandul dan tidak menjalankan fungsinya dengan baik. Bahkan, yang terjadi akhirnya saling menyandera.

Keempat, parpol tak membuka peluang pengaduan yang memungkinkannya untuk mengadili anggota Dewan dari partainya. Padahal, hanya parpol yang bisa melakukan pergantian antarwaktu terhadap anggota Dewan dari parpolnya di DPR.

Menghadapi realitas tersebut, KPK dituntut melakukan terobosan untuk mencegah semakin terpuruknya negara ini. Meski sekarang sedang dibahas revisi UU No 27/2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD, dapat diduga hasilnya tak akan berbeda karena sarat tawar-menawar kepentingan antar-parpol. Karena itu, ada beberapa landasan yang dapat digunakan KPK untuk mengambil peran lebih besar guna memperbaiki situasi ini.

Pertama, Pasal 14 UU No 30/2002 tentang KPK mengamanatkan tugas monitoring atau pengawasan terhadap penyelenggaraan pemerintahan negara kepada KPK. Untuk melaksanakan hal itu, KPK berwenang melakukan kajian dan memberi saran untuk melakukan perubahan sistem yang rawan korupsi.

Kedua, fakta menunjukkan, forum rapat dengar pendapat (RDP) di DPR yang seharusnya jadi forum pengawasan terhadap kinerja mitra eksekutif tidak dapat digunakan secara maksimal. Misalnya, penggunaan temuan hasil audit BPK sebagai alat pengawasan. Yang sering telihat, forum digunakan sebagai ajang show of force, bahkan tidak jarang pihak yang bertanya justru meninggalkan acara RDP saat pertanyaan akan dijawab. Akibatnya, persoalan mendasar yang terjadi di mitra kerja eksekutif tak pernah tuntas dan selalu saja menjadi temuan berulang oleh BPK.

Ketiga, tidak ada mekanisme kontrol langsung yang dibangun partai politik ataupun institusi lain agar konstituen dapat mengevaluasi kinerja anggota Dewan yang mewakilinya.

Dengan demikian, mekanisme yang selama ini terjadi semata- mata merupakan implementasi check and balances eksekutif antarlembaga tinggi negara yang sarat kepentingan. Alhasil, beberapa hal yang menghambat terjadinya siklus tata hubungan antarlembaga ini perlu ditata kembali. Idealnya pada setiap RDP yang utama selalu mengacu pada temuan dan rekomendasi BPK sehingga RDP akan lebih fokus dan berkualitas serta akan dapat memecahkan masalah-masalah yang cenderung berulang tersebut, bukan berdasarkan isu-isu di media semata.

Pada dasarnya forum RDP adalah titik sentral dari siklus hubungan kelembagaan antara eksekutif, legislatif, BPK, dan yudikatif. Pemahaman yang mendalam dan konstruktif terhadap output dan outcome RDP seharusnya mewarnai kinerja mitra kerjanya di masa depan. RDP seyogianya diarahkan tak hanya untuk sebesar-besarnya bagi implementasi ke arah kemakmuran rakyat dalam memenuhi standar hidup layak semata (pasif), tetapi juga pada people empowering dalam menghadapi tuntutan keadaan (aktif).

Tanggung jawab
Selama 10 tahun hadir, KPK telah meneguhkan eksistensi di bidang penindakan. Dampaknya, KPK dapat jadi faktor determinan dalam kebijakan jangka pendek yang bersifat pencegahan. Misalnya, awal bulan ini forum koordinasi KPK, Menteri Keuangan, dan Menteri/Kepala Bappenas antara lain telah berhasil menghemat potensi penyalahgunaan Dana Optimalisasi 2014 sebesar Rp 600 miliar di sektor perhubungan. Tahun lalu, KPK berhasil menyelamatkan potensi kerugian negara Rp 6,7 triliun terkait rencana pengalihan suplai gas untuk pabrik pupuk Semen Gresik kepada sektor swasta.

Pada tahun politik 2014 ini, yang akan menentukan anggota Dewan 5 tahun mendatang, KPK perlu memainkan posisi yang semakin strategis dan dominan. Setidaknya melakukan framing kepada para calon, baik sebelum maupun setelah mereka terpilih. Yang utama: mereka melepaskan relasi negatif kepada partai yang membelenggunya. Selain itu, anggota Dewan terpilih juga harus merasa "terancam" untuk setiap saat bisa di-recall melalui mekanisme pergantian antarwaktu (PAW) oleh partainya.

Perlu dibangun basis pemantauan kinerja anggota Dewan di setiap daerah pemilihan secara sistematis. Dengan begitu, mau tidak mau anggota Dewan akan secara berkala mempertanggungjawabkan mandat kepada konstituen dan tidak secara sembrono menggunakan RDP sebagai ajang "menghakimi" mitra kerja tanpa dasar argumen yang dapat dipertanggungjawabkan.

Membangun siklus hubungan antarlembaga di sekitar 500 kabupaten/kota tentu tidak dapat dilakukan oleh KPK sendiri. Partisipasi masyarakat sangat diperlukan. Dukungan ini akan sangat dimudahkan berkat dukungan situs KPK, radio streaming KPK dengan nama Kanal KPK, dan yang akan segera diresmikan TV streaming KPK.

Untuk dapat mewarnai Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 5 tahun sebagai turunan dari visi misi calon presiden atau wakil presiden pemenang pemilu, KPK perlu melakukan framing sebelum visi misi dibuat oleh calon melalui mekanisme induksi. Visi misi para calon agar berpijak pada kenyataan riil 10 tahun KPK berkiprah. Ini adalah sebagian tanggung jawab yang harus diambil KPK.

Adnan Pandu Praja, Pimpinan KPK

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000004317627
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger