Apakah presiden Republik Indonesia sekarang—dan yang akan datang—betul-betul berniat memberantas kemiskinan?
Ada yang perlu dicermati. Guru terbaik mengentaskan dari kemiskinan adalah orang miskin itu sendiri. Artinya, untuk mengentaskan dari kemiskinan tidak bisa dilakukan hanya dari balik kaca jendela gedung-gedung mewah dan Istana Presiden.
Kemiskinan tercipta oleh struktur, kebijakan pemerintah, dan sistem dalam masyarakat. Dalam pengentasan dari kemiskinan, yang diperlukan bukan program "dahsyat" yang didukung dana atau dianggarkan dari APBN (APBD), melainkan lingkungan yang mampu melahirkan kreativitas rakyat miskin bisa berkembang.
Di dunia ini pernah lahir pahlawan-pahlawan kemanusiaan, di antaranya Pierre Tritz (Yayasan ERDA, Filipina), Bunda Teresa (Ordo Missionaries of Charity, India), dan Muhammad Yunus (Grameen Bank, Banglades). Dengan prinsip kerja tanpa pamrih, mengedepankan pendekatan cinta kasih, dan perjuangan heroik, mereka ikut mencerdaskan bangsa dan mengentaskan dari kemiskinan—tanpa program dan anggaran "sepeser pun" dari pemerintah.
Semua orang miskin di Indonesia, yang tercatat per September 2013 sebanyak 28,55 juta orang, selalu memimpikan setiap presiden akan berusaha meningkatkan kualitas hidup mereka. Kualitas hidup diukur dari tiga kriteria. Pertama, derajat dipenuhinya kebutuhan untuk hidup sebagai makhluk hayati. Kedua, derajat dipenuhinya kebutuhan hidup yang manusiawi. Ketiga, derajat kebebasan untuk memilih, termasuk kebebasan memilih agama dan pendidikan.
Miskin bukan pilihan
Juli 2014 dilaksanakan pemilu presiden (pilpres) lagi. Namun, entah, apakah nama orang miskin juga ada dalam daftar pemilih tetap yang amburadul itu?
Kepemimpinan seorang presiden dianggap berhasil apabila ia mampu meninggalkan warisan yang bisa menginspirasi sekaligus memberikan dorongan energi positif kepada rakyat, terutama rakyat miskin, untuk bisa meningkatkan kehidupan lebih baik. Fenomena ini sekaligus menjelaskan betapa kualitas, kredibilitas, dan integritas seorang presiden menjadi yang utama.
Rakyat miskin adalah cermin negara yang paling buruk. Sebab, dalam teori dasar demokrasi, keberhasilan pembangunan ekonomi dan politik diukur dari sejauh mana tingkat kesejahteraan rakyat dan keadilan sosial tercipta.
Setidaknya ini yang pertama harus diketahui para kandidat presiden. Korelasinya dengan Pilpres Juli 2014, yang diimpikan orang miskin tampilnya sosok presiden—siapa pun dia—yang bertipologi sebagai pemimpin bangsa. Pemimpin yang memiliki empati dan bisa memandang kemiskinan rakyatnya sebagai bentuk ketidakadilan: ekonomi, hukum, kesehatan, dan keamanan.
Tak ada orang yang bercita-cita jadi miskin. Tetapi, yang bercita-cita jadi presiden banyak. Jika capres punya strategi dengan alokasi dana puluhan hingga ratusan miliar demi menaikkan elektabilitas, orang miskin juga punya strategi meski itu sebatas untuk mencari makan, sekadar memenuhi kebutuhan dasar hidup.
Orang tidak dihargai dan dianggap tidak punya harga diri selama hidup terjepit kemiskinan (Muhammad Yunus). Dan, Tuhan tak pernah bertanya apakah orang miskin Indonesia mau menerima hidupnya? Hidup bukan pilihan. Satu-satunya yang bisa dipilih dalam kehidupan adalah bagaimana menjalaninya (Henry Ward Beecher, 1813-1887).
Kehidupan orang miskin ibarat burung. Semoga para capres 2014 lebih berempati kepada orang-orang miskin di Indonesia.
Adjie Suradji, Alumnus Fakultas Sains, Universitas Karachi, Pakistan
Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000004445057
Powered by Telkomsel BlackBerry®
Tidak ada komentar:
Posting Komentar