Tidak kalah penting kerusakan karena bencana alam, saat yang sama kita melakukan pengeroposan. Yang pertama lebih banyak oleh otonomi alam, yang kedua oleh kebodohan dan nafsu serakah kita mengedepankan kepentingan bisnis pragmatis. Sudah lama dan sekarang semasif maraknya korupsi, kita lalai melestarikan benda cagar budaya.
Penyelamatan Kompleks Muaro Jambi yang arealnya lebih luas daripada Candi Borobudur terabaikan dan penambangan pasir secara gegabah yang mengakibatkan hilangnya sejumlah temuan arkeologis di kawasan Gunung Kelud—dua peristiwa yang diangkat harian ini pekan lalu. Itu baru dua di dua lokasi: Jambi dan Jawa Timur.
Sudah pasti perusakan, pengeroposan, dan pembiaran di sejumlah tempat sudah, masih, dan akan terus terjadi. Hilangnya hampir semua kepala patung di Candi Dieng, dihancurkannya sejumlah situs dan bangunan, seperti di Bandung dan Jakarta, serta sejumlah peradaban (hasil kebudayaan) satu garis lurus dengan praktik korupsi.
Akar masalah kelalaian ini tidak beranjak dari gaya hidup aji mumpung atau takut tidak komanan dalam kondisi negara serba semrawut. Tidak hanya cara berpikir dan bertindak serba pragmatis—faktor fungsi menjadi kriteria pertama—tetapi dalam kondisi serba boleh plus ketidakhadiran pemerintah, dengan lancar jaya vandalisme semakin menjadi-jadi, pun dengan dalih turisme.
Kita ingin mewariskan yang serba baik. Namun, kenyataannya gaya carpe diem (nikmati hari ini) mendominasi cara berpikir dan bertindak. Masih slogan sebab terbukti tidak hanya terjadi pada kasus rusaknya benda cagar budaya, tetapi juga ke berbagai bentuk lain, seperti penggundulan hutan dan keengganan kita belajar dari keberhasilan atau kegagalan masa lalu.
Utopis kita harapkan perubahan paradigma dalam skala besar. Dengan topik di atas kita persempit rusak dan terlalaikannya warisan benda cagar budaya. Istilah yuridis dalam UU Nomor 5 Tahun 1992 tentang Cagar Budaya dan aturan pelaksanaan tahun 1993 kenyataannya mandul. Pasalnya tidak bisa diterapkan. Boro-boro tebang pilih seperti dalam kasus korupsi, bahkan mengenai klasifikasi benda cagar budaya pun belum ada kesepakatan.
Kita memang masih belajar melestarikan cagar budaya. Bahkan, tidak hanya "baru belajar", tetapi kita juga sengaja melenyapkan yang serba masa lalu demi "masa depan lebih baik". Ketika otonomi alam memperlihatkan kuasanya, kita manusia berlomba ikut merusaknya. Keprihatinan ini mengentakkan harapan, selain penegakan hukum soal benda cagar budaya juga kesadaran bersama tentang historiografi Indonesia!
Lebih sulit membongkar budaya merusak peradaban daripada memperbaiki kerusakan alam dan lingkungan akibat keserakahan kita!
Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000004399907
Powered by Telkomsel BlackBerry®
Tidak ada komentar:
Posting Komentar