Langkah pengunduran diri Azarov (66) dikatakan atas alasan pribadi untuk kesatuan Ukraina, tetapi sesungguhnya karena terdesak oleh gelombang demonstrasi dalam beberapa bulan terakhir. Gelombang demonstrasi bahkan memuncak sekitar dua pekan terakhir sebagai protes atas undang-undang yang melarang segala bentuk demonstrasi di jalanan. Keadaan Kiev, ibu kota Ukraina, digambarkan memanas cepat ketika tiga demonstran tewas. Kekacauan tampak dramatis karena demonstran menduduki gedung dan kantor pemerintahan.
Arah penyelesaian krisis Ukraina masih belum jelas meski kalangan oposisi merasa di atas angin setelah PM Azarov mengundurkan diri. Kegembiraan oposisi bertambah karena Presiden Viktor Yanukovich memberikan konsesi dengan membebaskan para demonstran yang ditahan. Sementara oposisi bersedia meninggalkan kantor pemerintah, tetapi tetap bersiaga di sudut-sudut jalan.
Sungguh menarik mengkaji krisis sosial politik Ukraina, yang berlangsung sejak November lalu. Gelombang protes pecah segera setelah Presiden Yanukovich menolak menandatangani pakta perdagangan dengan negara-negara Barat yang bergabung dalam Uni Eropa. Penolakan dilakukan Yanukovich karena lebih memilih melanggengkan hubungan dengan Rusia yang berambisi mengajak Ukraina membentuk Uni Eurasia, pesaing Uni Eropa. Apalagi Rusia sudah memberikan talangan utang 15 miliar dollar AS kepada Ukraina, ditambah pemotongan harga gas.
Kenyataan itu memperlihatkan, bangsa Ukraina terpecah dalam tarikan pengaruh Uni Eropa dan Rusia. Kelompok oposisi yang didominasi kaum nasionalis cenderung berkiblat ke Uni Eropa karena secara historis dekat dengan Ukraina. Namun, pemerintahan Presiden Yanukovich ingin menjaga hubungan dengan Rusia atas pertimbangan pragmatis ekonomi.
Jelas sekali, krisis sosial politik Ukraina memperlihatkan dampak perpecahan Uni Soviet akhir tahun 1990-an belumlah selesai. Sebagai ahli waris utama Uni Soviet, Rusia pada dasarnya tidak ingin kehilangan pengaruhnya di kalangan negara-negara bekas anggota Uni Soviet seperti Ukraina. Namun, tidak sedikit negara-negara bekas anggota Uni Soviet bergabung dengan Uni Eropa, yang tentu saja membuat Rusia terusik.
Segera terlihat pula sisa-sisa Perang Dingin dalam kemelut di Ukraina. Presiden Rusia Vladimir Putin misalnya menegaskan, negara-negara asing, dalam hal ini Barat, tidak boleh mencampuri urusan internal Ukraina. Sebaliknya Amerika Serikat, yang berhadapan dengan Uni Soviet (kini Rusia), dan Uni Eropa mengisyaratkan dukungan kepada oposisi Ukraina. Negara itu pun terjepit.
Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000004464937
Powered by Telkomsel BlackBerry®
Tidak ada komentar:
Posting Komentar