Presiden RI cuti tanggal 17 dan 18 Maret, berkampanye untuk Partai Demokrat. Selain sejumlah menteri mengambil cuti atau minta izin untuk berkampanye, hal serupa dilakukan sejumlah pejabat publik lainnya.
Tidak ada peraturan hukum yang mereka langgar dalam posisinya sebagai pejabat publik. Itu hak mereka. Undang-undang dan sistem Pemilu Legislatif 2014 dan Pemilu Presiden/Wakil Presiden 2014 membolehkan. Mereka bisa melakukan kampanye sebagai caleg atau jurkam partainya.
Peraturan hukum diselenggarakan demi keteraturan dan sanksi bagi pelanggar. Dalam praksisnya sering terjadi terabaikan asas etika pejabat publik. Ketika para pejabat publik yang pada dua pekan ke depan mengambil cuti, "turun" menjadi jurkam untuk partai atau dirinya, secara etis moral bisa dipertanyakan integritasnya terhadap kepentingan warga/masyarakat.
Jabatan publik dalam arti pelayanan kepentingan umum mensyaratkan pengutamaan dan prioritas pada kepentingan umum. Posisi pejabat publik pun—terpilih mengemban amanat rakyat atau kewenangan yang didelegasikan oleh pejabat yang berwenang—merupakan servus servorum (pelayan semua pelayan). Dengan jabatan publik, an sich jabatan ini mendahulukan kepentingan rakyat sebagai yang pertama. Integritasnya adalah integritas publik.
Dengan pragmatisme berlebihan dewasa ini, ketika yang didahulukan adalah asas fungsi dan kepentingan, bukan proses melainkan hasil, eksistensi etika pejabat publik pun makin ditinggalkan.
Segala kemudahan diciptakan agar pragmatisme, termasuk demi kekuasaan ekonomi-politik dan kepentingan sempit lainnya, bisa diwujudkan. Peraturan hukum yang dihadirkan pun bukan rambu-rambu demi keteraturan dan terselenggaranya kepentingan umum, melainkan tidak lebih dari penelikungan etika publik.
Demi pragmatisme pula, senantiasa dicari celah menemukan dan memanfaatkan kelemahan peraturan. Pengalaman pemilu atau pemilihan kepala daerah di beberapa tempat yang lalu menunjukkan berbagai contoh penyalahgunaan celah kelemahan yang menimbulkan banyak kejadian membingungkan dan korban.
Pencampuradukan dana dan kesempatan dari pejabat petahana saat berkampanye, untuk dirinya atau partainya atau untuk siapa lagi, menimbulkan tanda tanya. Secara transparan dan akuntabel bisa terbantah dengan transparansi dan akuntabilitas. Secara hukum dibenarkan, tetapi niscaya bagi pejabat-pejabat bersangkutan terus diketuk pertanyaan menggugat masalah etika jabatan publik.
Maksud kita dalam catatan ini bukan mendekonstruksi dasar hukumnya, melainkan sekadar menyalakan tanda bahaya!
Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000005409473
Powered by Telkomsel BlackBerry®
Tidak ada komentar:
Posting Komentar