Namun, kurang dari sepekan, tiba-tiba muncul sentimen negatif dari eksternal. Kepala Bank Sentral AS Janet Yellen mengumumkan, perekonomian AS terus membaik sehingga pihaknya berencana segera mengurangi stimulus. Suku bunga di AS yang kini 0,2 persen akan naik menjadi 1 persen pada akhir 2015. Juga quantitative easing yang kini 65 miliar dollar AS per bulan akan segera diturunkan menjadi 55 miliar dollar AS per bulan dan akhirnya dihilangkan pada akhir Oktober 2014.
Sinyal positif perekonomian AS ini disambut dengan modal masuk kembali ke AS. Dollar AS pun menguat atau sebaliknya rupiah kembali terkoreksi. Rupiah menjadi
Rp 11.445 per dollar AS dan IHSG menjadi 4.698 pada 20 Maret sebagai respons pengumuman Janet (19 Maret). Sesudah itu muncul data positif AS, yakni terciptanya 192.000 lapangan kerja selama Maret 2014. Saat ini ekspektasi para ekonom adalah terciptanya 200.000 pekerjaan baru pada April 2014.
Jika pengangguran AS sudah berada di bawah 6,5 persen, Janet akan memangkas stimulus moneter secara lebih agresif. Jika data positif ini berlanjut, dollar AS akan terus menguat. Indeks harga saham Dow Jones di New York saat ini 16.572 atau mulai mendekati level sebelum krisis 2008.
Indonesia juga mencatat data positif. Inflasi Maret 2014 hanya 0,08 persen atau turun dari 0,26 persen bulan sebelumnya sehingga inflasi year on year melandai ke 7,32 persen. Inflasi mengecil, saya duga, karena kombinasi antara membaiknya jalur distribusi barang (dipicu meredanya hujan dan banjir) dan menguatnya rupiah (menyebabkan berkurangnya tekanan inflasi dari impor atau imported inflation). Sementara itu, kita kembali surplus perdagangan 785 juta dollar AS pada Februari 2014.
Adapun data cadangan devisa Maret 2014 mencapai 102,6 miliar dollar AS atau sedikit menurun dari bulan sebelumnya, 102,7 miliar dollar AS, tetapi lebih tinggi dari 100,2 miliar dollar AS pada Januari 2014. Artinya, dalam beberapa bulan terakhir, modal global memang mondar-mandir di Indonesia. Ketika ada sentimen positif terjadi modal masuk, tapi sesekali terkoreksi modal keluar saat ada tanda-tanda perekonomian AS menggeliat. Namun, selama tiga bulan pertama 2014 perekonomian kita menunjukkan lebih banyak sentimen positif daripada sebaliknya.
Sentimen positif inilah yang saya duga melatarbelakangi membaiknya dua indikator ekonomi makro yang sangat sensitif terhadap sentimen, yakni kurs rupiah dan IHSG. Kurs rupiah akhir pekan lalu Rp 11.300-an per dollar AS, sedangkan IHSG ditutup Jumat sore pada 4.858. Ini menandakan bahwa "persaingan" antara sentimen internal dan eksternal masih ada, tetapi sentimen internal masih cukup kuat.
Selanjutnya, bagaimana pemilu legislatif akan memberi warna dalam perekonomian Indonesia? Bank Dunia memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya 5,3 persen. Dasar analisisnya pada variabel-variabel ekonomi yang terukur, seperti belanja konsumsi dan investasi, harga komoditas primer yang belum beranjak, defisit neraca transaksi berjalan masih berlanjut, serta perekonomian global yang belum pulih. Semua kondisi obyektif itu mendorong Bank Dunia memproyeksikan pertumbuhan ekonomi 5,3 persen saja atau lebih rendah daripada capaian tahun lalu, 5,78 persen.
Bank Pembangunan Asia (ADB), yang mencoba memasukkan faktor pemilu yang diproyeksikan berhasil, menemukan angka yang lebih optimistis, yakni 5,7 persen. Jika tolok ukurnya adalah proyeksi tahun lalu, ramalan ADB lebih bisa dipercaya. Tahun lalu, baik Bank Dunia maupun Dana Moneter Internasional (IMF) sama-sama meramalkan pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya 5,3-5,5 persen (2013) dan 5,5 persen (2014). Adapun ADB meramalkan 5,7 persen (2013) dan 6 persen (2014). Proyeksi Bank Dunia dan IMF terbukti meleset jauh. Ini sangat disayangkan karena sebenarnya dari data triwulanan saja sebenarnya sudah dapat diketahui bahwa pertumbuhan ekonomi kita selalu di atas 5,5 persen.
Tahun pemilu di Indonesia bukanlah tahun yang kelam secara ekonomi. Pengalaman pemilu tahun 2009 ditandai dengan pencapaian pertumbuhan 4,5 persen tatkala negara-negara emerging markets lain mengalami kontraksi (pertumbuhan negatif). Pemilu 2009 tersebut diwarnai krisis ekonomi global. Kali ini memang ada kesamaan adanya krisis ekonomi global. Bedanya, saat ini perekonomian AS sedang menjalani pemulihan dengan catatan pertumbuhan ekonomi 2,5 persen, sementara sebagian besar negara di Eropa kini mengalami stagnasi.
Saya menangkap indikasi bahwa pemilu kita akan sukses. Ekspektasi publik kini justru sedang meninggi untuk mewujudkan terbentuknya pemerintahan baru yang lebih berkualitas dengan ciri kepemimpinan yang kuat (strong leadership). Harapan itu hanya akan terwujud jika kedua pemilu (legislatif dan presiden) berlangsung sukses. Jika sukses, kepercayaan diri akan kembali sehingga belanja konsumsi dan investasi naik. Hal inilah yang tidak terdapat dalam proyeksi Bank Dunia, tetapi terakomodasi oleh proyeksi ADB. Ketika kepercayaan meningkat, rupiah dan IHSG akan menguat. Selanjutnya akan berimbas pada tekanan inflasi yang lebih menurun. Lebih lanjut, Bank Indonesia akan menurunkan BI Rate, yang kemudian menurunkan suku bunga bank. Bank-bank pun akan giat menyalurkan kredit, melebihi ekspektasi 15-17 persen oleh BI.
Karena itu, saya lebih memihak ramalan ADB bahwa perekonomian Indonesia akan tumbuh 5,7 persen. Bahkan bisa jadi lebih tinggi karena pemilu akan lancar, aman, dan sukses. Marilah mewujudkan ekspektasi ini.
A Tony Prasetiantono, Kepala Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik UGM
Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000005914522
Powered by Telkomsel BlackBerry®
Tidak ada komentar:
Posting Komentar