Cari Blog Ini

Bidvertiser

Senin, 07 April 2014

KTI Menggugat (Muhammad Syarkawi Rauf)

ISU ketimpangan ekonomi antara kawasan timur Indonesia dan kawasan barat Indonesia belumlah usai.

Perekonomian kawasan timur Indonesia (KTI) yang kaya sumber daya alam tetap terjebak dalam kemiskinan parah. KTI bahkan mengalami fenomena pertumbuhan tanpa pembangunan.

Ketimpangan ekonomi KTI dengan kawasan barat Indonesia (KBI) selalu jadi isu politik lima tahunan dalam pileg dan pilpres. Namun, perhatian terhadap ketimpangan KTI-KBI memudar seiring berakhirnya masa kampanye.

Masih segar dalam ingatan janji kampanye SBY-Boediono untuk merelokasi industri berbasis SDA dari Jawa ke luar Jawa, yaitu industri pengolahan hasil tambang dan industri berbasis input komoditas pertanian ke KTI. Tetapi, hal ini tak bisa terwujud karena KTI tidak memiliki infrastruktur dasar, seperti dalam kasus Kalimantan sebagai penghasil batubara, minyak, dan gas bumi terbesar di Indonesia, bertahun-tahun mengalami defisit ketersediaan energi listrik.

Sebagai ilustrasi, Indonesia saat ini memiliki 74 kawasan industri dengan luas 30.038,35 hektar. Dari jumlah itu, 75,89 persen atau 55 kawasan industri seluas 22.795,90 hektar ada di Jawa. Sementara itu, Sumatera memiliki 16 kawasan industri dengan luas 4.493,45 hektar (14,96 persen); Sulawesi hanya dua kawasan industri seluas 2.203 hektar (7,33 persen); dan Kalimantan dengan satu kawasan industri seluas 546 hektar atau sekitar 1,82 persen (Kompas, 15 Maret 2014).

Permasalahan kemiskinan di KTI tidak terlepas dari pola pembangunan ekonominya yang berjalan tak normal, yaitu bertransformasi dari daerah pertanian dan pertambangan langsung ke sektor perdagangan dan jasa. Sementara kegiatan industri yang butuh banyak tenaga kerja tidak berkembang. Idealnya, proses transformasi ekonomi dimulai dari daerah pertanian dan pertambangan (primer) ke industri (sekunder) lalu ke jasa (tersier).

Perekonomian KTI terjebak dalam The Dutch Disease (sindrom penyakit Belanda), ditandai meningkatnya ekspor komoditas tambang secara signifikan tanpa diikuti berkembangnya kegiatan industri manufaktur. Daerah-daerah di KTI bahkan mengalami fenomena natural resources curse (kutukan SDA).

Tidak bisa dihindari, persentase penduduk miskin KTI, khususnya Papua dan Papua Barat, tak banyak mengalami penurunan dalam lima tahun terakhir. Pada 2010 lebih dari 35 persen penduduk Papua dan Papua Barat masuk kategori miskin dan pada 2012 persentasenya tetap tinggi, yaitu lebih 30 persen.

Potret kemiskinan KTI semakin parah karena juga disertai ketimpangan pendapatan per kapita dengan rasio gini tinggi. Ketimpangan antar-pendapatan per kapita di KTI justru mengalami peningkatan dalam 10 tahun terakhir, seperti tecermin pada rasio gini Sulsel (2002) sekitar 0,301 jadi 0,429 (2013). Demikian juga Papua dengan rasio gini 0,380 (2009) jadi 0,442 (2013).

Peningkatan rasio gini di KTI kontras dengan pertumbuhan ekonominya yang jauh lebih tinggi daripada pertumbuhan ekonomi nasional, seperti Papua Barat yang tumbuh 28,47 dan 27,08 persen pada 2011 dan 2012. Demikian juga Sulbar dan Sultra yang tumbuh 10,32 dan 10,41 persen pada 2013 (BPS, 2014).

Janji kampanye
Sejalan fakta di atas, perekonomian KTI butuh langkah serius pemerintah untuk mengoreksi permasalahan struktural perekonomiannya yang terlampau bergantung pada ekspor hasil tambang, pertanian, kehutanan, dan perikanan non-olahan.

Daerah-daerah di KTI secara bertahap harus menggeser struktur ekonominya ke sektor industri yang penyerapan tenaga kerjanya besar, sekaligus mengatasi masalah kemiskinan dan mengurangi ketimpangan pendapatan per kapita dengan rasio gini yang semakin rendah.

Percepatan pergeseran struktur ekonomi KTI dapat dilakukan melalui pengembangan integrated industrial estate yang akan mendorong berkembangnya intra-industry trade. Pola seperti ini cocok untuk daerah di KTI yang memiliki kesamaan SDA.

Ketimpangan penyebaran industri saat ini yang 90 persen di KBI dan 10 persen di KTI tidak akan menyelesaikan masalah kemiskinan di KTI. Percepatan industrialisasi KTI akan berjalan normal jika didukung ketersediaan infrastruktur, seperti pelabuhan, bandara, jalan, kereta api, telekomunikasi, pergudangan, lembaga riset, pelatihan, pendidikan, dan energi listrik.

Muhammad Syarkawi Rauf, Peneliti pada Lembaga Pengkajian Ekonomi dan Bisnis, FEB Unhas; Anggota Jaringan Peneliti Ekonomi Indonesia Timur

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000005712012
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger