Manipulasi penghitungan suara selalu menjadi isu sentral setiap pemilu digelar. Kecurigaan ini berasal dari praktik pemilu Orde Baru yang memang mengabaikan prinsip kejujuran dan keadilan. Sementara pada pemilu pasca Orde Baru, Pemilu 2009 paling banyak menunjukkan penyimpangan penghitungan suara.
Melalui pembicaraan informal dengan pengurus partai dan anggota DPR, saya mencatat, saat ini setidaknya ada 20 anggota DPR yang keterpilihannya diragukan karena praktik manipulasi penghitungan suara. Data Mahkamah Konstitusi menunjukkan, pada Pemilu 2009 ada 627 perkara gugatan hasil pemilu yang diajukan 42 parpol. Dari jumlah itu, 493 perkara disidangkan, 68 perkara dikabulkan. Artinya, dari perkara yang masuk, 11 persen dikabulkan MK. Padahal, banyak juga perkara yang terbukti tetapi tidak dikabulkan karena jumlah suara tidak cukup untuk mengubah perolehan kursi.
Bagaimana terjadi manipulasi penghitungan suara? Pertama, rumus paling sederhana: tak ada saksi, maka tak ada suara. Maksudnya, jika partai tidak mengirimkan saksi dalam penghitungan suara, khususnya di TPS, PPS, dan PPK, hampir pasti suaranya hilang, setidaknya berkurang.
Pengalaman ini yang menjelaskan banyak calon senewen: mengapa di beberapa desa/kelurahan saya tidak mendapat suara sama sekali, padahal di sana banyak sanak saudara saya tinggal dan memilih saya? Kesalahan sang calon adalah partainya tak memiliki saksi di desa/kelurahan itu.
Kedua, seiring dengan perubahan sistem dari proporsional tertutup (Pemilu 1999) ke proporsional setengah terbuka (Pemilu 2004), lalu proporsional terbuka pada Pemilu 2009, peran saksi partai makin signifikan. Mereka tak hanya mencuri suara dari partai lain, tetapi juga mengubah perolehan suara calon dalam satu partai. Ini yang marak pada Pemilu 2009 ketika sistem pemilihan menghendaki calon terpilih ditetapkan berdasarkan suara terbanyak.
Langkah antisipasi
Mengapa saksi mengubah hasil penghitungan suara antarcalon dalam satu partai? Jawabnya sederhana: saksi ditunjuk partai; ditunjuk partai berarti ditunjuk pengurus partai; padahal, pengurus partai juga jadi calon. Jadi, logis saja jika saksi mengutamakan suara pengurus partai yang jadi calon karena dia yang mengangkatnya menjadi saksi.
Tentu saja proses manipulasi penghitungan suara yang dilakukan para saksi tersebut tidak berarti apa-apa jika petugas pemilu di TPS, PPS, dan PPK tidak menyetujuinya. Jadi, inisiatif memang berasal dari saksi, tetapi "legalisasi" tetap di tangan petugas. Persekongkolan inilah yang mengantarkan banyak orang menduduki kursi DPR dan DPRD yang sesungguhnya bukan menjadi haknya.
Menyadari maraknya praktik manipulasi penghitungan suara pada Pemilu 2009, KPU kini mengambil beberapa langkah antisipasi. Pertama, mencetak sertifikat hasil penghitungan suara di TPS (formulir C-1) dengan kertas pengaman berhologram. Pada sidang sengketa hasil Pemilu 2009, hakim MK sering dipusingkan oleh banyaknya versi formulir C-1, padahal ditandatangani oleh saksi dan petugas yang bernama sama. Hal ini bisa terjadi karena formulir C-1 kosong gampang digandakan yang kemudian digunakan untuk mengubah hasil penghitungan suara.
Kedua, salinan formulir C-1 kini tidak hanya dibagikan kepada saksi dan pengawas pemilu, tetapi juga harus ditempel di papan pengumuman di TPS, PPS, dan PPK. Tujuannya agar siapa saja dengan mudah bisa mencatat dan memotret hasil penghitungan suara di TPS sehingga jika terjadi manipulasi penghitungan suara dapat dengan mudah diketahui.
Ketiga, salah satu salinan formulir C-1 melalui PPS dan PPK segera dikirim ke KPU kabupaten/kota untuk di-scan dan hasil scan langsung dikirim ke pusat data KPU Jakarta. Hasil scan formulir C-1 ini oleh KPU lalu dipublikasikan melalui laman KPU sehingga masyarakat bisa melihat hasil penghitungan suara per TPS di seluruh Indonesia.
Peluang tersisa
Dengan langkah antisipasi tersebut, rasanya tidak ada ruang tersisa buat persekongkolan mengubah hasil penghitungan suara di TPS, PPS, dan PPK. Namun, jika mencermati proses penghitungan suara, ruang itu masih ada. Jika pada Pemilu 2009 titik sentral manipulasi terjadi di PPK (karena saat itu hasil penghitungan suara di TPS langsung direkap di PPK), kini titik rawan itu akan terjadi di TPS sehingga persekongkolan saksi dan KPPS harus jadi perhatian.
Selama ini penghitungan suara di TPS dianggap paling bersih karena penghitungannya ditonton oleh warga. Yang sering dilupakan, warga segera meninggalkan TPS begitu penghitungan suara yang ditulis pada kertas besar (C-1 plano) selesai. Padahal, masih terdapat satu tahap penting, yakni pengalihan hasil penghitungan C-1 plano ke formulir C-1 yang jadi dokumen resmi hasil pemilu di TPS.
Di sinilah peluang manipulasi itu terbuka. Karena pengalihan hasil penghitungan suara dari C-1 plano ke formulir C-1 tidak ditonton warga, saksi dan petugas bisa bersekongkol mengubah hasil penghitungan suara. Misalnya, total perolehan partai A berubah dari 110 di C-1 plano menjadi 10 di formulir C-1 atau perolehan calon B berkurang dari 81 di C-Plano jadi 8 di formulir C-1.
Hitung-hitungan perubahan ini bisa dengan cepat dilakukan oleh saksi dan petugas karena menyangkut angka kecil dan tersedia kalkulator. Jika hasil pengubahan tersebut tertera di formulir C-1 berhologram, dokumen inilah yang selamanya akan menjadi dasar penghitungan suara selanjutnya.
Guna mencegah kemungkinan manipulasi penghitungan suara di TPS, mau tidak mau saksi dan petugas TPS harus dikontrol. Di sinilah seharusnya para calon memiliki "saksi bayangan" atau sukarelawan di setiap TPS. Namun, karena mengerahkan sukarelawan di setiap TPS membutuhkan biaya besar, setiap calon yang punya niat baik untuk menyelamatkan suara rakyat harus bekerja sama. Formulanya sederhana: saya awasi suara Anda di TPS sini, tolong jaga suara saya di TPS sana.
Didik Supriyanto, Ketua Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem)
Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000005932790
Powered by Telkomsel BlackBerry®
Tidak ada komentar:
Posting Komentar