Panel Antarpemerintah untuk Perubahan Iklim (IPCC) dalam pertemuan di Yokohama, Jepang, yang berakhir Senin kemarin, menegaskan, perubahan iklim sudah terjadi di lima benua dan di semua samudra.
Yang harus menjadi perhatian bersama, dalam banyak hal, umat manusia tidak siap menghadapi dampak perubahan iklim. Harus diingat, yang akan merasakan akibat paling berat adalah kelompok masyarakat miskin.
Laporan menyebutkan, ada peluang mengurangi risiko perubahan iklim meski akan sulit ditangani jika suhu bumi meningkat pesat. Ada kawasan di mana kenaikan suhu telah mengubah lingkungan secara permanen, tetapi ada yang dapat diturunkan risiko dampaknya.
Perubahan iklim mengubah, antara lain, pola serta jumlah curah hujan dan musim dingin. Pengaruhnya langsung terasa pada produksi pangan, jumlah dan jenis penyakit, ketersediaan air bersih, serta bencana alam.
Akibat lanjutnya, perubahan peta geoekonomi dan geopolitik, termasuk kemungkinan perang akibat perebutan sumber daya alam dan migrasi besar-besaran manusia dari daerah yang terdampak negatif perubahan iklim.
Negara dengan garis pantai luas atau negara kepulauan, seperti Indonesia, segera merasakan akibat. Kenaikan suhu muka bumi menyebabkan es di Arktika meleleh sehingga meningkatkan tinggi muka laut. Perubahan juga terjadi pada terumbu karang yang akan memengaruhi biota laut, termasuk ikan, sebagai sumber penghidupan nelayan.
Suhu muka bumi dapat dipengaruhi aktivitas alam, seperti matahari, penguapan air permukaan, dan letusan gunung berapi. Namun, penyebab perubahan iklim saat ini adalah aktivitas manusia melepas gas rumah kaca ke udara, terbanyak karbon, disusul metana.
Sumber gas karbon dan metana tersebut mulai dari pembakaran minyak bumi untuk kegiatan industri dan transportasi, pembakaran biomassa tumbuhan, aktivitas di lahan gambut, hingga kotoran ternak.
Peringatan tentang kenaikan suhu muka bumi dan akibatnya pada perubahan iklim telah disampaikan dalam laporan-laporan IPCC. Juga ada kesepakatan negara-negara menurunkan emisi gas rumah kaca.
Persoalannya, tidak semua negara kaya dan berkembang setuju. Tiongkok, misalnya, menuntut negara kaya mengambil inisiatif pengurangan emisi karbon. Adapun Amerika Serikat menghadapi hambatan di dalam negeri, terutama dari kelompok Partai Republik, yang melihat isu pemanasan global menghambat pertumbuhan ekonomi.
Indonesia sebagai pemilik hutan tropis terbesar ketiga di dunia wajib memelihara lingkungan untuk kepentingan dunia, tetapi terutama demi rakyat Indonesia sendiri.
Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000005805239
Powered by Telkomsel BlackBerry®
Tidak ada komentar:
Posting Komentar