Cari Blog Ini

Bidvertiser

Sabtu, 05 April 2014

Tajuk Rencana: Dilema Pembajakan Buku (Kompas)

BUKU disebut jendela dunia dan pembangun peradaban. Ironisnya, di Indonesia, pembajakan buku masih banyak terjadi dengan berbagai alasan.
Harian Kompas, kemarin, melaporkan dilema pembajakan buku, terutama buku ilmu pengetahuan yang dibutuhkan mahasiswa. Mahasiswa membeli buku bajakan karena harganya lebih murah daripada buku asli. Perpustakaan kampus juga tak mampu menyediakan buku yang dibutuhkan. Penerbit mengalami kerugian finansial. Yang lebih merugi sebetulnya penulis buku, kerja kerasnya tidak dihargai seperti seharusnya.

Dilema pembajakan buku bukan khas Indonesia. Teknologi digital makin meningkatkan pembajakan buku dan segala produk kreatif yang dapat ditransfer secara digital. Pembajakan pun tidak lagi mengenal batas negara.

Atas alasan apa pun, mengambil karya orang lain tanpa izin pemilik bukan perbuatan terpuji, bahkan dapat dikategorikan tindakan kriminal. Pemerintah coba mencegah pelanggaran terhadap hak kekayaan intelektual (HKI). Untuk buku, misalnya, ada Undang-Undang Hak Cipta Nomor 19 Tahun 2002.

Perlindungan HKI sangat keras di negara maju, dilakukan oleh negara dan komunitas industri serta bisnis. Komunitas bisnis akan mendesak pemerintah mereka melindungi HKI di dalam negeri dan di negara lain.

Dalam banyak perjanjian perdagangan, perlindungan HKI termasuk salah satu syarat. Misalnya, kesepakatan perdagangan bebas dalam Kemitraan Trans Pasifik (TPP) yang dimotori Amerika Serikat serta beranggotakan negara Asia Timur dan Pasifik.

Perlindungan tersebut bukan mengada-ada. Negara kaya membuktikan, pengembangan iptek dan inovasi kunci pertumbuhan ekonomi. Untuk mendorong inovasi dan pengembangan iptek, diperlukan biaya sangat besar sehingga produknya harus dilindungi dari pembajakan.

Indonesia juga ingin melindungi HKI dengan alasan sama. Karena itu, perlu dicari cara agar kepentingan semua pihak dapat dipenuhi.

Mari becermin pada cara negara berkembang lain melindungi HKI sekaligus mendorong tumbuhnya inovasi dan iptek tanpa membebani masyarakat. India dan Tiongkok mendorong rakyatnya membaca. Harga buku dibuat sangat murah sehingga warga seperti mendapat insentif saat membeli buku asli. Buku berbahasa asing sekalipun harganya jauh lebih murah di Beijing daripada di Jakarta.

Banyak hal dapat dilakukan pemerintah agar harga buku menjadi murah. Yang diperlukan adalah keberpihakan, mulai dari keringanan pajak untuk memproduksi kertas dan buku serta memperbaiki tata niaganya hingga rekayasa sosial agar masyarakat gemar membaca buku asli.

Tanpa keberpihakan negara, masyarakat terpaksa akan terus membeli buku bajakan. Inovasi dan pengembangan iptek akan berjalan lambat. Ujungnya, Indonesia sulit bersaing dalam kompetisi global.

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000005870234
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger