Cari Blog Ini

Bidvertiser

Kamis, 03 April 2014

TAJUK RENCANA Myanmar Krisis Minoritas (Kompas)

Kepercayaan internasional terhadap keseriusan Myanmar melakukan demokratisasi bisa tergerus kalau negara itu mengabaikan kaum minoritas.
Harus diakui bahwa Myanmar menghadapi masalah minoritas, baik etnik maupun agama, yang belum terselesaikan. Padahal, serangkaian perubahan untuk menunjukkan bahwa rezim militer sudah ditinggalkan dan menjadi bagian masa lalu, antara lain dengan reformasi politik serta pembebasan para tahanan politik, termasuk pembebasan tokoh demokrasi, Aung San Suu Kyi, sudah dilakukan. Akan tetapi, masih ada catatan jelas terkait dengan masalah minoritas: hak kemanusiaan kelompok minoritas yang belum dihormati serta eksistensi mereka sebagai manusia dan warga negara.

Contoh terakhir terkait dengan diingkarinya status kewarganegaraan etnis Rohingnya. Dalam sensus pertama sejak tiga dasawarsa lalu, warga Rohingnya disebut sebagai Bengali karena mereka dinilai sebagai imigran ilegal. Dengan demikian, keberadaan mereka tidak diakui secara legal. Akibat selanjutnya adalah ribuan pengungsi Rohingnya, korban bentrokan etnis di Negara Bagian Rakhine bagian utara, kekurangan akses untuk memperoleh bantuan kesehatan, pangan, dan pendidikan.

Bahkan, menurut berita yang diturunkan harian ini, kemarin, sejumlah lembaga bantuan kemanusiaan internasional tidak bisa menyalurkan bantuan, bahkan masuk ke wilayah tersebut, khususnya di Sittwe, Negara Bagian Rakhine. Mereka, lembaga-lembaga bantuan kemanusiaan internasional itu, diserang oleh kelompok etnis mayoritas anti Rohingnya.

Sekadar catatan, di Negara Bagian Rakhine terdapat 800.000 warga etnis Rohingnya atau 90 persen dari jumlah penduduk negara bagian itu. Wilayah ini berbatasan dengan Banglades. Di zaman kolonial Inggris, daerah itu disebut Negara Bagian Arakan. Ketika junta militer mulai berkuasa pada 1989, namanya diubah menjadi Negara Bagian Rakhine. Di wilayah ini kerap terjadi konflik sektarian antara kaum Muslim Rohingnya dan Buddha yang sangat kronis.

Etnis Rohingnya hanyalah satu dari sembilan kelompok minoritas di Myanmar. Selama mereka hanya dilihat atau dipandang sebagai kaum minoritas, bukannya sebagai manusia atau dilihat dari sisi kemanusiaannya, nasib mereka tidak akan berubah. Kebijakan seperti itu tentu sangat merugikan ASEAN karena Myanmar sekarang ini adalah Ketua ASEAN. Apalagi jika ASEAN diam.

Menurut hemat kita, ASEAN tidak bisa tinggal diam. Meski ada kesepakatan untuk tidak ikut campur tangan urusan negara lain sesama anggota, penghormatan terhadap kedaulatan sebuah negara anggota tidak bisa mengalahkan penghormatan terhadap masalah kemanusiaan, terhadap prinsip-prinsip dan nilai-nilai kemanusiaan.

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000005827506
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger