Cari Blog Ini

Bidvertiser

Sabtu, 12 April 2014

TAJUK RENCANA: Perdamaian yang Terlupakan (Kompas)

KALAU dikatakan bahwa peluang terciptanya perdamaian antara Israel dan Palestina sudah hilang, tentu ini sebuah pandangan pesimistis.
Akan tetapi, apabila melihat fakta atau serangkaian peristiwa di lapangan, kiranya pendapat tersebut memperoleh pembenaran. Hingga saat ini, belum bisa diraba perjanjian seperti apa yang akan tercapai antara Palestina dan Israel. Padahal, berpuluh kali perundingan telah dilakukan untuk menyelesaikan konflik yang pecah pada awal abad ke-20 itu.

Bahkan, revolusi yang menyapu kawasan Timur Tengah, yang lebih populer disebut sebagai "Arab Spring", seperti telah mengubur proses perdamaian itu. Revolusi di Tunisia, Mesir, Libya, Yaman, dan Suriah telah mengalihkan perhatian dunia dari konflik Palestina-Israel.

Revolusi itu, Arab Spring, juga telah mengubah peta politik dan kekuatan di Timur Tengah. Tentu hal itu berdampak pula terhadap hubungan negara-negara Timur Tengah dengan dunia luar, termasuk Barat, terutama AS yang selama ini, meski merupakan sekutu Israel, merupakan pendorong proses perdamaian.

Satu hal yang pasti adalah peran AS di Timur Tengah menjadi lebih lemah setelah Arab Spring. Oleh karena itu, AS pun dipaksa untuk membangun struktur baru hubungan diplomatiknya dengan negara-negara Arab. Bisa kita lihat, gerakan AS mendekati Iran membuat Arab Saudi dan tentu Israel tidak senang. Dan, ini membutuhkan usaha ekstra dari AS untuk meyakinkan sekutunya bahwa apa yang mereka lakukan tidak merugikan.

Arab Spring juga memunculkan pemahaman baru bahwa rezim otoritarian dan diktator lebih memberikan perlindungan keamanan bagi Israel ketimbang demokrasi baru yang kurang stabil, seperti di Mesir. Tentu hal ini juga berdampak pula terhadap proses perdamaian.

Kondisi seperti itu telah menyebabkan usaha untuk menghidupkan lagi proses perdamaian—yang dimulai delapan bulan lalu—berjalan tertatih-tatih. Meskipun, sebenarnya, pokok persoalannya tetaplah sama: kedua belah pihak—Israel dan Palestina—tidak bersedia dan tidak dapat melakukan kompromi yang dibutuhkan untuk bergerak ke arah tercapainya kemungkinan kesepakatan.

Misalnya, Israel tetap menuntut agar diakui sebagai "negara Yahudi"; sebaliknya, Palestina tetap menuntut "hak untuk kembali" bagi jutaan pengungsi Palestina ke kampung halamannya sebelum perang 1948, 1967, dan 1973. Tentu kompromi yang harus dilakukan Israel termasuk menghentikan pembangunan permukiman baru.

Apakah dengan demikian memang perdamaian dan damai tak mungkin ditegakkan di Tanah Palestina? Tentu kita yang selalu berpengharapan masih melihat setitik cahaya, walau kecil, bagi terciptanya perdamaian selama terus diusahakan, tanpa kenal lelah.

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000006015950
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger