Memang terjadi aksi kekerasan dan penyerangan, tetapi jumlahnya jauh lebih kecil dibandingkan saat pemilu 2009. Menurut Menteri Dalam Negeri Umar Daudzai, di seluruh negeri tercatat 140 serangan; sementara pada tahun 2009, ketika pelaksanaan pemilu dikawal AS, terjadi 500 serangan (International New York Times). Pun kekerasan dan penyerangan-penyerangan bersenjata itu terjadi di daerah-daerah yang jauh dari pusat kota, di daerah pedusunan.
Hal itu sangat perlu dicatat mengingat sebelumnya kelompok Taliban bersumpah akan mengacaukan pemilu yang dianggap disetir oleh AS. Selama dua bulan sebelum hari pemilu, Taliban melancarkan 39 kali serangan mematikan.
Tingginya jumlah rakyat yang menggunakan hak pilih—sekitar 7 juta dari 12 juta orang yang memiliki hak pilih menurut perkiraan PBB—walau di bawah ancaman Taliban dan dalam iklim yang buruk, menunjukkan bahwa rakyat memang menginginkan perubahan. Mereka rela mengorbankan hidupnya demi menggapai kehidupan yang lebih baik, kondisi negara yang lebih baik.
Pantaslah kalau pemilu hari Sabtu lalu disebut sebagai babakan penting dan bersejarah bagi rakyat Afganistan. Mereka ingin meninggalkan masa lalu yang penuh dengan permusuhan, yang membuat Afganistan sebagai negara yang tidak pernah sepi dari peperangan, yang berdarah- darah, yang tidak stabil karena konflik antar-etnik, yang kurang menghormati hak-hak asasi manusia, yang dijerat oleh korupsi.
Mereka ingin berubah lewat jalur demokrasi, walaupun demokrasi bukan mengenai memilih yang terbaik, melainkan mengenai mencegah yang paling buruk berkuasa. Itu sebuah pilihan. Dan, pilihan itu sudah diambil oleh rakyat Afganistan, secara mandiri, tanpa campur tangan asing. Karena itu, ini transisi demokratik pertama Afganistan setelah 13 tahun rezim Taliban tumbang atau 12 tahun setelah rezim Hamid Karzai berkuasa.
Secara teknis, melihat kondisi di lapangan serta situasi politik dan keamanan, sebenarnya banyak pihak pesimistis bahwa pemilu bisa berlangsung lancar. Namun, semangat perubahan yang ada di hati rakyat Afganistan mampu mengalahkan rasa takut, mampu memberikan kekuatan untuk keluar dari belenggu ketidakberdayaan. Mereka sadar bahwa konflik berkepanjangan tidak memberikan apa-apa kecuali kemiskinan, penderitaan, kebodohan, dan kehancurleburan sebagai bangsa.
Andai kata nanti presiden yang terpilih tidak mengikuti jalur etnis, ini sebuah lompatan besar Afganistan yang mampu keluar dari jebakan sektarianisme.
Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000005930399
Powered by Telkomsel BlackBerry®
Tidak ada komentar:
Posting Komentar