Cari Blog Ini

Bidvertiser

Selasa, 08 April 2014

TAJUK RENCANA: Reforma Agraria Mendesak (Kompas)

PEMERINTAH  harus tegas dan konsisten melaksanakan reforma agraria untuk mencegah ketimpangan yang semakin besar di masyarakat.
Rasio gini tanah secara nasional mencapai 0,72. Artinya, terjadi ketimpangan sangat besar dalam penguasaan lahan. Ketimpangan itu lebih buruk daripada ketimpangan pendapatan yang rasio gininya 0,41. Indeks gini dihitung dari nol hingga satu. Makin mendekati satu, makin timpang.

Bagi negara agraris dan berkembang seperti Indonesia, ketimpangan kepemilikan lahan berarti ketimpangan alat produksi. Menurut Badan Pertanahan Nasional, 56 persen aset berupa properti, tanah, dan perkebunan dikuasai hanya oleh 0,2 persen penduduk Indonesia.

Konsorsium Pembaruan Agraria menyebut, korporasi menguasai 11 juta ha kebun sawit, sementara luas areal perkebunan rakyat kurang dari 20 persen. Areal hutan tanaman industri dan hak penguasaan hutan lebih dari 40 juta ha, sementara hutan rakyat kurang dari 1 juta ha.

Sensus Pertanian 2013 Badan Pusat Statistik memperlihatkan, 26,14 juta rumah tangga pertanian menguasai rata-rata hanya 0,89 ha per rumah tangga. Meskipun penguasaan lahan meningkat dari rata-rata 0,41 ha, luasan tersebut jauh dari ideal sebesar 2 ha per keluarga.

Yang tidak tecermin dari publikasi Sensus Pertanian 2013 adalah perpindahan petani gurem menjadi pekerja informal di perdesaan dan atau perkotaan. Jumlah petani gurem, yaitu petani dengan penguasaan lahan kurang dari 0,5 ha, turun 25 persen dari hasil Sensus Pertanian 2003.

Jika disandingkan dengan fakta terjadinya deindustrialisasi sejak reformasi, kuat dugaan petani gurem beralih menjadi pekerja informal di perdesaan atau perkotaan. Boleh jadi mereka menjual alat produksinya karena luasan lahan jauh dari memadai, tidak mampu menunjang kebutuhan petani. Involusi pertanian seperti disebut Clifford Geertz tampaknya terus terjadi, terutama di Jawa.

Undang-Undang Pokok Agraria tahun 1960 jelas menyebut hak atas tanah memiliki fungsi sosial dan melindungi kepentingan ekonomi lemah. Undang-undang ini menekankan asas keadilan dan manfaat bagi setiap warga negara sehingga kepemilikan dan penguasaan lahan berlebihan yang merugikan kepentingan umum tidak dibolehkan.

Upaya mendistribusi tanah pernah dilakukan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, tetapi tidak berlanjut. Pemerintah harus tegas dan konsisten melakukan reforma agraria. Perlu mekanisme pengawasan agar tanah yang diredistribusi tidak kembali terkonsentrasi pada sekelompok orang karena kemiskinan memaksa penjualan tanah kembali. Distribusi lahan disertai bukti kepemilikan legal menjadi modal kegiatan ekonomi lebih lanjut.

Reforma agraria harus menjadi agenda pemerintah. Tanpa memperbaiki ketimpangan penguasaan lahan, kesenjangan kesejahteraan akan memburuk. Kita tidak ingin menjadi seperti Thailand di mana isu ketimpangan jadi masalah politik. Kita dapat menghindari keresahan sosial itu apabila ada kemauan dari pemerintah.

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000005929872
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger