Cari Blog Ini

Bidvertiser

Selasa, 08 April 2014

ANALISIS POLITIK: Merenungi Kedaulatan Rakyat (J Kristiadi)

MULAI tanggal 6 sampai 8 April, rakyat sebagai pemilik sejati kedaulatan memiliki kesempatan merenungi makna kedaulatan sebelum otoritas politik diserahkan kepada wakil rakyat melalui pemungutan suara pada Rabu, 9 April 2014. Kontemplasi itu sangat penting mengingat praktik berdemokrasi sejak kemerdekaan hingga era kebebasan, asas kedaulatan bernegara hanya menjadikan rakyat sebagai obyek.

Kurun Demokrasi Terpimpin, retorika dan demagogi politik membius rakyat sehingga praktis kedaulatan rakyat diserap dalam pribadi seorang presiden. Masa Orde Baru, legitimasi kekuasaan yang otoritarian dan represif dilakukan dengan doktrin stabilitas politik. Dengan demikian, pemilu yang selalu disebut oleh penguasa sebagai pesta demokrasi adalah kebijakan represi negara membelenggu kebebasan rakyat. Mesin militer dan birokrasi negara menggilas siapa saja yang mencoba membangun kekuatan demokrasi.

Sementara itu, 15 tahun terakhir, pada pemilu (termasuk pilkada) yang dilakukan dalam suasana liberal, rakyat hanya dijadikan komoditas politik yang sangat murah. Harga kedaulatan rakyat ibaratnya setara dengan harga sekantong sembako. Para wakil rakyat dan pejabat publik yang secara demokratis dipilih rakyat amat piawai menyalahgunakan kekuasaan untuk menguras kekayaan negara. Rakyat dibius dengan mantra politik bahwa pemilu adalah momentum merayakan kedaulatan rakyat. Namun, reduksi kedaulatan pada era kebebasan tidak menyurutkan rakyat membangun kekuatan yang dapat mengontrol dan mengoreksi negara.

Pencermatan itu menunjukkan rakyat sebagai pemegang kedaulatan otentik, melalui proses pemilu, justru menghasilkan pemegang otoritas politik yang mendaulat atau mereduksi kedaulatan rakyat. Kausa primanya, daya tahan kedaulatan pribadi para elite politik terlalu lemah menghadapi ancaman godaan nikmatnya kekuasaan. Para pemimpin tidak berdaulat atas dirinya sendiri. Mereka mudah menyerah pada desakan dan hasrat menyantap lezatnya kue kekuasaan. Indonesia sebagai entitas politik, meskipun telah merdeka hampir 70 tahun, tidak berhasil memerdekakan rakyat dari berbagai jerat kemiskinan, kebodohan, dan penderitaan lainnya.

Kilas balik itu sangat penting agar masyarakat terdorong menjadikan Pemilu 2014 menghadirkan wakil rakyat yang memiliki tingkat empati dan loyalitas tinggi kepada konstituennya. Syarat utama, kesadaran, keyakinan, serta penghayatan rakyat adalah pemegang kekuasaan tertinggi, harus dijadikan modal. Rakyat adalah pemilik kedaulatan paling tulen. Karena itu, rakyat harus berpartisipasi penuh dalam Pemilu 2014. Daya tahan para aktor politik terhadap gangguan dan ancaman godaan kekuasaan dapat ditingkatkan apabila rakyat memiliki kewaspadaan tinggi dan pengawasan yang permanen terhadap pemegang otoritas politik.

Partisipasi maksimum rakyat dalam Pemilu 2014 dapat diwujudkan dalam beberapa hal sebagai berikut. Pertama, cermat dan cerdas melakukan pilihan. Secara normatif, ukurannya mutu rekam jejak para calon anggota legislatif sebagai bukti komitmen dan pemihakan mereka terhadap kepentingan rakyat. Namun, mengingat jumlah caleg cukup banyak dan informasi mengenai mereka sangat terbatas, tidak terlalu mudah menentukan pilihan sesuai standar yang diharapkan. Karena itu, mungkin, agar mudahnya, dapat dipertimbangkan memilih parpol yang mencalonkan kandidat presiden yang kualitas rekam jejaknya, dalam batas-batas tertentu, dapat memberikan harapan perbaikan kehidupan yang lebih baik. Cara menentukan pilihan ini juga akan mempunyai kontribusi terhadap pemerintahan yang lebih stabil dan kuat karena mendapatkan dukungan partai di parlemen.

Kedua, kajian Formappi tentang kinerja DPR periode 2009-2014 dapat dijadikan salah satu rujukan, mengingat meskipun kinerja mereka buruk, 90 persen dicalonkan kembali untuk periode 2014-2019. Berdasarkan asumsi pemimpin parpol memiliki kepentingan subyektif kepada petahana, kemungkinan besar mereka diberikan urutan atas dalam daftar calon. Meski dalam dua pemilu terakhir nomor urut bermakna signifikan, secara psikologis diharapkan dapat menggiring pemilih untuk mencoblos mereka. Urutan bawah kemungkinan diisi para aktivis, akademisi, dan kader-kader muda parpol yang belum banyak dikenal. Karena itu, mencari darah segar tempatnya mungkin di urutan bawah.

Ketiga, pemilih juga harus berusaha mati-matian melawan lupa. Jangan terseret rayuan yang seakan-akan ingin membalikkan arah reformasi ke tatanan kekuasaan yang represif. Dosa penguasa masa lalu tidak hanya memonopoli kekuasaan, tetapi juga menjadikan negara sebagai satu-satunya sumber kebenaran. Untuk melawan lupa, harus selalu diingatkan: dalam rezim otoriter, berbeda pendapat dengan negara adalah kriminal.

Terakhir, pengawasan terhadap penyelenggaraan pemilu, khususnya agar rekapitulasi penghitungan suara mulai dari PPS (kelurahan/desa) menuju PPK (kecamatan)
serta KPU kabupaten/kota, tidak menyimpang. Kecenderungan ini semakin menguat dan perlu kontrol ketat karena persaingan caleg intra dan antar parpol sudah menjurus kepada zero sum game (hidup atau mati). Pemenang akan menghabisi kompetitor, baik teman sesama kader partai maupun kader parpol lawan politiknya.

Melalui Pemilu 2014, semoga rakyat dapat membangun kekuatan untuk membangkitkan dan memadukan niat mulia para aktor politik sehingga mereka berpihak kepada rakyat. Selamat menjadi pemilih yang cerdas!

J Kristiadi, Peneliti Senior CSIS

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000005933180
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger